Senin, 02 Agustus 2010

Tunggu Aku

Apabila laut bergelombang,
tunggu aku di tepian...
bila angin menderu menerjang,
nantikan aku dengan sekeranjang ikan...
ku masih bergumul dengan kayu mengambang ,sayang... ku masih berseteru dengan daratan...
tunggulah aku di tepian.

Satu Senyum

wajah lugu sang bocah terpampang dengan jelas
gurat ototnya dan membimbing senyuman ikhlas
mengalir sejenak saja dalam satu dunia natural
menata kembali alur yang tertinggal...
di ujung tempat itu, tersenyum padamu
mengajakmu hentikan untuk saling beradu
sejenak tinggal rasakan euphoria berpacu
dalam setiap kepala yang satu...
heningkanlah dulu...
jangan biarkan jadi abu...
resapi sejenak dalam kalbu
karena mereka tahu senyum yang satu...

(ber-)akhir

ini
adalah
sebuah
proses
yang
belum
ber-
akhir
***
tanda mata masih menjulang periskop bintang
baut-bautnya masih baru saja dikencangkan...
rasinya masih belum terbentuk
cahaya belum terlihat jelas...
baru saja nampak pusara eyang
yang dengan gigihnya berjuang mati-matian
kelopak bunga masih segar dan wangi...
jalanan masih lengang
bergelombang...
- ini adalah sebuah proses
masih raut mukamu belum mensyaratkan penuaan
-ini masih belum berakhir
gemakan lagi nyaring kobaran di dadamu
jangan melemah di pelukan manja

ketika meregang nyawa,
ini belum berakhir...

terpecah

sebelumnya aku belum tersadar
sebelumnya aku masih mengkhayal
jala yang ditebar kan mendapat ikan
pancing yang dilempar kan mendapat sambutan
hanya saja...

kau masuki alam mimpiku dan menghacurkan semua khayalku.

Bukan tak terjamah

5 detik yang lalu,
kau hujamkan kata yang menusuk hatiku
bertubi tubi kau koyak
dengan sembilu
hempaskanku pada linangan air mata,,
air pelarian...
Semenit yang lalu,
kau tanyakan itu
pertanyaan yang tak mampu kujawab
yang membungkamku dalam berjuta kebekuan gunung es
dan membiarkannya begitu saja
tenggelam dan hilang
satu jam yang lalu,
kita menyatu dalam aliran
lekuk sungai dan air
akar dan tanah
api dan asap
mengucur keringat kehidupan

sekarang kau pergi dan memaki
aku mati
karena memang
'aku bukan yang tak terjamah'

1/4

tak terasa angin telah menjauh...
tembaga tlah tersepuh,,,
nelayan tlah menambatkan sauh...

di gubuk di lembah di kaki gunung...
bertalu suratan takdir
meretas segala kehampaan
menjaga hati untuk kembali
menjaga nurani bersimpuh di kaki

seperempat,
memanggilku
sepereampat
mengingatkanku
seperempat...

pergi dalam satu

damar penerang gulita kini kan kukembalikan
pada jalannya yang hitam dan penuh luka

berpadu mengadu meminta
walau bulan tak kan tergapai
gunung tak kan terengkuh
biar jiwa berikan jiwa

terimakasih atas nafas
berjuta terlepas
terimakasih atas pandangan
yang membuat menjadi kenangan
terimakasih atas hidup
yang kan kembali meredup
nantinya....

wanita dan rembulan

wanita bertanya pada ranumnya senja
" akankah kulihat bulan tersenyum?
Berbagi cahayanya dengan anggun"
angin mendesir mengejar rumput
duduk ia di singgasananya
lambaikan tarian duka
rambut terurai
tekan pundak
bola matanya melepas penat
sarat

"akankah kulihat senyuman sang purnama malam ini?
Ceritakan kisah baru sang malaikat..."

masih,,,
tangan membalut
sembilu menyeringai
angin tetap berlalu

wanita beranjak
senja mengadu pada malam
suasana yang kelam
pekat
lekat
laknat


angkatlah tangan di dada
rasakan sesak yang masih tersisa
antara dunia fana
dan alam yang belum berada...

"ku masih ingin melihat rembulan
yang pancarkan sinar di antara gelap pekat malam
yang memenjarakan siang!!!"

wanita bersimpuh...
rapuh...

berada (di) antara

berdiri...
langkah tertatih masih menyapu
perih dari luka perut bumi
menyembur mulut bernanah darah
antara mati dan 'hidup' lagi

sudah tak kurasakan denyut hati
yang bernyanyi
senandungkan harmoni kehidupan
hanya kecamuk otak ber'retorika'
dalam kepenatan yang menggaung
antara ruang yang hampa

rambutmu mulai kusut,
wajahmu berkeriput
kering sudah mulut
yang tak lagi berkoar
mengenai nurani....
biar hujan dan badai menerjang
kau masih sang halilintar
memecut keraguan
membahanakan ketakutan...
biar peluh menderas
tak lagi berimpas
pada sebuah suluk yang tertancap
tegak
mati
hidup
kubur
bumi
gersang
hujan
garis tak terlihat antara hitam dan putih
batas yang tak jelas antara
takut dan menjadi pengecut...
masih berhamburan
dan membuncah lagi dalam kepenatan...
aku masih (di) antara alam dan yang belum berada.

Masih.

Ibu,
ingatkan aku!
Saat Tiang tegak berdiri
tertiup angin tak bergeming
menantang gagah cakrawala...
ku kan hancurkan berjuta karang menghadang
ku kan tembus perut bumi dan mengoyaknya
ku kan lukis pelangi dengan lebih warna
dengan lebih cahaya

maaf,
sekarang tiang belum tertancap
kaki masih terluka
keindahan belum lagi nyata
aku masih seonggok tanah busuk
bertambah busuk dengan debu-debu dosa

Sajakku tertulis untukmu

Sajakku tertulis untukmu
kamus keindahanku ada padamu
kau mau aku berbicara apa?
Aku tak bisa...
Mulutku tak mampu menggapai kata
tanganku tak mampu melukiskan warna

sajakku tertulis padamu...
Gerak bibir indahmu hentikan ku bernyanyi
lambaian tanganmu menambatkan tubuh pada kaki
tajam pandangmu hentikanku dari dunia sepi

sajakku tertambat dihatimu...
Ijinkan kuselami dalamnya
biar lebih dalam dari samudra
ijinkan kubaca semua
sekedar bahasa dari bangsa
biar sajak ini tertulis hanya pada dirimu

setan adalah kita

mataku panas sepanas api neraka
tapi tak juga kau redakan dengan embun surga
delapan penjurumengerang kesakitan menahan derita
angin menjalari api meretas dusta
apalah arti tanya jika hanya berdiam saja
apalah makna sapa jika berakhir durjana
telinga telah bebal oleh kata
mulut jadi rajam sengkala
tikam saja hati terbelut sengsara
lepaskan dan lupakan kenyataan yang nista
mataku panas sepanas api neraka
tak kau redakan juga dengan embun surga
menggeliat tubuh-tubuh penuh luka
sembilu yang t'lah dilepaskan dengan angkara
tak ayal "setan adalah kita"
manusia dengan topeng beribu muka
mataku panas sepanas api neraka
coba kau redakan dengan air mata
melihat yang muda dan tua saling berebut nama
yang miskin ingin kaya, yang kaya mau jadi penguasa

mataku panas sepanas api neraka
manusia tak lagi manusia.