Rabu, 13 Juli 2011

Musik Tua

ada kala yang membuang percuma
ada kala yang membuang makna
ada kala yang membuang nista
ada kala yang membuang do'a

ada kala orang-orang berjejal
mendengarkan riuh musik di jalan
menari-nari sambil tertawa
membawa topeng-topeng monyet
dan berlarian kesana kemari

ada kala orang orang terbungkam
menunduk kepala ditopang tangan
karena serak mereka tak lagi di dengar
semua dibawa pergi oleh seringai
seringai seringai yang mencari makan
makan makan keringat kalian

ya,
jangan kau baca tulisan ini
yang bukan puisi orang suci
ini hanya kumpulan diksi
yang belum punya arti
tapi diksi ini tak kan mati!

dengar?
jelas saja kau tak mendengar
alunan itu kau munafik-kan di gendang telinga
rintihan itu kau libas dengan musik ceria
tapi masih ada
ada
ada
ada
ada suara
ada tangis
ada rintihan

masih ada yang menangis karena lapar
masih ada yang menangis karena dikejar hutang
ada yang masih menangis karena rumahnya dihancurkan
ada
ada
ada
ada alunan itu
ada yang belum kita dengar
ada yang selalu hilang
ditelan bisingnya kota
di injak oleh do'a kita!

seng sugih tambah sugih
seng miskin dadi mindring

aduh.. aduh..
ancur!

alunan lama yang semakin tua
semakin tak terdengar...

Para Pejuang


Merah putih itu masih berkibar bertopang pada sebilah bambu yang ditancapkan di tengah halaman. Dua orang terlihat sedang khusyu’ memandangi kain yang dipermainkan oleh angin sore itu. Hari masih terlihat cerah, wajah dua orang di halaman rumah itu garang. Di bahu kanan kirinya mereka membawa sebuah senapan dan sebilah belati. Wajah mereka juga tak luput dari hiasan coreng-moreng hasil usapan arang.
“Hari ini melawan, atau tidak sama sekali!” seseorang dengan wajah yang terlihat lebih lama bergumul dengan hidup berkata. “ya… sekarang atau tidak sama sekali.” Sosok yang terlihat lebih muda menyahut. “sekali berarti, sudah itu mati!” sahut sang ayah.
“ya, sekali berarti sudah itu mati!” si anak menimpali.
“Anakku, jika hari ini adalah hari terakhir kita, jangan kau kecewa karena hal itu. Berbanggalah karena kita diberi kesempatan untuk membela negara kita. negara tercinta”. Si ayah menguatkan hati anaknya.
“membela ideologi kita ayah. Ideologi yang diperjuangkan oleh bung Karno dan bung Hatta. Ideologi yang ada pada sajak-sajak penyair jalanan, dan harapan-harapan yang menghidupkan orang-orang pinggiran”. Si anak menambahkan.
“demi ibu pertiwi, kita habisi para penjajah! Mereka yang mencoba menguras kekayaan negeri ini, mereka yang menindas para warga negaranya, hanya ada satu kata”.
“lawan!” Mereka berdua bersorak.
Di dalam rumah, di balik jendela, seorang wanita paruh baya memandangi mereka dengan rasa was-was. “semoga mereka baik-baik saja”. Wanita itu bergumam. Kemudian dia pergi ke dapur dan mulai menghidupkan kompor, memasak air hangat dan juga bubur kacang hijau kesukaan suami dan anaknya. Dengan memasak, dia akan melepas rasa was-was yang melingkupi dirinya. Wanita itu memilliki keyakinan bahwa memasak akan membawa kebahagian. Memasak dengan sepenuh hati.
Di luar, ayah dan anak itu mulai bergegas untuk pergi ke medan pertempuran. Langkah mereka berat, seakan banyak sekali beban yang merantai kakinya. Sesekali mereka menengok ke belakang. Memperhatikan suasana rumah yang lengang karena hanya tinggal satu orang wanita saja di sana. Akankah mereka akan bertemu lagi? Sempatkah mereka mencicipi masakan wanita di rumah itu, nanti? Tapi, ayah dan anak itu menepis bayangan-bayangan yang datang. Mereka berjalan. Kali ini teguh mereka pegang keyakinannya.
Awan melingkupi matahari, sehingga panas tidak begitu terasa. Sepoi angin juga memantapkan hati untuk terus maju dan melangkah. Burung gereja yang terbang memberi salam hangat dan doa atas keselamatan dua orang itu. Pertempuran menunggu.
Sesampainya di pintu masuk sebuah kebun kopi dan karet, mereka berdua berhenti. Ada dentuman meriam dan letusan bedil yang mereka dengar. “bum…bum…”, “dor…dor…dor…”. Suara-suara itu bersahutan di udara. Tidak ada sela untuk mendengar suara kicauan burung atau gemericik air di sungai. Mungkin saja burung-burung sudah pergi tunggang langgang mendengar teriakan-teriakan meriam dan senapan yang saling bersahutan. Dan bisa saja tembakan dari meriam yang salah mengenai sasaran membuat arus air berubah. Yang pasti, alam di kebun itu tidak lagi indah. Manusia-manusia itu mulai mengacaukan tatanannya.
“anakku, sepertinya medan pertempuran sudah dekat. Apa kau sudah benar-benar siap?” sang ayah memulai pembicaraan. “apa pun yang terjadi, aku akan terus maju bersama ayah”. Dengan wajah tenang yang menampakan hati mereka kuhuh, mereka melangkah.
Sang ayah menyiapkan senapannya. Diberinya peluru untuk melawan musuh. Si anak tidak ketinggalan. Dengan mengendap-endap mereka mendekati sumber suara. Mencari dimana lawan dan dimana kawan.
“ayah, bagaimana jika kita berpencar saja. Aku pergi ke arah utara, dan ayah ke arah selatan”. Si anak memberi keputusan. “baiklah. Saat matahari mulai berubah menjadi jingga, kita berkumpul lagi disini”. Sang ayah memberikan tawaran. “aku setuju ayah”.
Perlahan-lahan mereka mengendap-endap. Bersembunyi di balik pohon karet yang menjulang tinggi, dan getahnya masih saja menetes memberikan tambahan penghasilan pada penduduk sekitar. Dari satu pohon ke pohon yang lain, mereka melangkah semakin menjauh. Berseberangan.
Daun-daun berbisik untuk mengikuti sang ayah. Tulang tua dan batu besar yang berceceran di sepanjang jalan yang ia lalui tak menjadi hambatan. Dengan cekatan ia melompat dari satu batu ke batu yang lain, bersembunyi dari satu pohon ke pohon lain. Seperti seekor kijang, ia bergerak dengan lincah dan indah. Tangan yang kanan memegang senapan. Tangan kiri sesekali menjadi penopang tubuh saat kakinya tergelincir karena lumut yang tumbuh di batu. Tetapi, badannya tetap tegak, dan tak sudi ia untuk mencium tanah yang dia injak.
Di sebuah pohon besar, dia melihat bekas peluru yang mungkin baru saja terlepas dari senapan. Tak luput juga tanah memberitahunya bahwa peluru meriam bersarang di situ. Dia semakin meningkatkan kewaspadaannya. Disebarnya pandangan mata ke seluruh penjuru kebun. Berhati-hati pula ia membuat gerakan. Mata tua tak menghalangi ke-awasan-nya dalam meneliti sekitar. Pandangannya menerobos semak-semak yang rimbun. Diperhatikannya satu per satu tempat yang mungkin dijadikan sebagai tempat bersembunyi musuh. Lamat-lamat terlihat bayangan beberapa orang yang sedang menunduk. Dia tidak ingin gegabah. Diperhatikannya dengan cermat. “apakah mereka penjajah?” dia bertanya dalam hati. Dari bibirnya, dia mengeluarkan suara. Mencoba bersiul, meniru suara burung.
“dor…dor…dor…”
Tembakan membabi buta mengarah padanya. Tetapi alam memang tahu siapa yang harus dijaga. Orang paruh baya itu tidak terkena tembakan. Semua peluru meleset dan bersarang pada pohon di kiri, kanan dan depannya tempat dia bersembunyi. Peluru dia siapkan. Tembakan pun dibalas tembakan. 5 peluru untuk beberapa orang musuh. Dia berhasil mengenainya. Didekatinya perlahan. Didapatinya 3 orang tergeletak ditanah, tak bernyawa. Suara-suara sudah kembali seperti semula. Jangkrik mulai berani keluar dari sarangnya.
Matahari mulai tenggelam. Warna langit telah berubah jingga. Dentuman peluru meriam dan letusan bedil tidak lagi terdengar. Sepertinya pertempuran telah usai. Lelaki itu melangkahkan kakinya meninggalkan tempat pertempuran. Pergi ke tempat dimana dia berjanji akan bertemu dengan anaknya. Langahnya ringan.
Di bawah pohon karet yang cukup tinggi, anaknya telah menunggu. Lelaki paruh baya itu melambaikan tangannya. Bibirnya menggurat senyum lebar. Senyum kemenangan. Anaknya membalas lambaian lelaki itu dengan tangan mengepal dan diangkat ke udara. “Merdeka!” teriaknya. Wajah dua lelaki itu sumringah. Mereka bahagia dengan apa yang baru saja mereka lakukan demi negeri-nya. Suasana temaram menuntun mereka untuk pulang.
Melalui desiran angin, doa seorang wanita memberkahi mereka berdua.
*****
“Adiii... Adi!” suara yang cukup lantang terdengar dari luar ruangan. Seorang remaja di kamar itu masih saja tertidur di atas kasur. Sarung yang dia pakai untuk menyelimuti tidurnya mulai kumal. Padahal cuaca sedang panas di luar rumah. Kendaraan saling berebut untuk mendahului satu sama lain. Asap knalpot dan debu di jalan juga menambah pikuk kota Jember semakin tidak menyenangkan.
“duk.. duk..” Seorang wanita paruh baya terlihat berjalan dengan jengkel, sehingga pijakan kakinya menimbulkan suara. “Brak!” suara pintu kamar yang dibanting perempuan itu tidak memberikan pengaruh terhadap Adi. Dengan penuh rasa jengkel, gayung berisi air yang dia pegang ditumpahkan. “byurr..!” air tumpah di kepala Adi. Dia terkejut dengan air yang tanpa ia duga mendarat di wajahnya.
“cepat bangun anak malas. Beh, dari tadi dibiarkan, mak tambah enak-enakan tidur. Ayo cepet, bantu ibuk masak. Catering ini harus dikirim sebelum jam 5 sore. Jangan cuma enak-enakan tidur”. Semprot wanita itu.
“ibu, masa aku harus ikut memasak juga?” Adi menimpali ibunya. Kemudian, dengan wajah yang agak ogah-ogahan Adi duduk. “aku ini kan, seorang pejuang!”

Ebhi Yunus
Jember, 21 Juni 2011

Minggu, 10 Juli 2011

Woi

woi...
tengok-tengok jika mau berbelok
kami disini hanya duduk melongok
melihat kamu yang suka lolak-lolok
mengucap nama berolok-olok.

woi...
matane ndelok!
kami ini uwong cilik
yang kemana-mana cuma melok
melok kanan, melok ke kiri
jangan sampe mbok gowo mati!

woi...
kami disini berbicara,
jangan kamu menutup telinga
kata-kata kami bagaikan do'a
awas kening thola, tau rasa

woi...
kami masih hidup lek
je kajeh odhi' tekalah gigi ta' meddhi'
hanya sakit yang sering kau beri
tapi hati kami tak pernah untuk kubagi

woi..
ini sebuah serapah
yang sering kali kau dengar
hanya tak pernah kau perhatikan
jadi muspro menyampah di jalanan

woi..
ada kami
woiiii...
kami ada
wwoooooiiii...