Senin, 20 Februari 2012

Menyulam Cerita

Menatap melalui jendela bis dengan kosong, aku melipat kenangan. Kenangan yang terlalu lebar jika di biarkan begitu saja. Mengisi setiap waktu dan memenuhi kepala. Ah andai saja kepalaku ini seperti sebuah computer yang dilengkapi dengan recycle bin. Dengan mudah kan kuhapus semua kenangan yang tak ku kehendaki dan ku kan mengisinya dengan kenangan yang indah saja. Yang indah dan yang tak perlu lagi kulupakan, yang tak perlu merepotkanku untuk berlari, karena, sungguh aku tak menginginkan yang seperti ini. Di jendela ini, malam ini, aku hanya sendiri walaupun hingar bingar penumpang lain begitu ramai di telinga. Perlahan, kusadari titik hujan membayang di jendela.

Tanpa sadar, tanganku merogoh tas dan mengambil handphone, jari-jariku mulai menari menyulam kata-kata dan mulai mengirim pesan padamu. Sekedar ingin bertanya, apakah kau masih terjaga, apa yang sedang kau lakukan saat ini disana. “aku sedang menikmati secangkir kopi.” Kau membalas. Kubayangkan seraut wajah yang menikmati kopi hitam kegemaran, aku tersenyum. Ku balas lagi, “kopi hitam tanpa gula dan sebatang rokok yah…, pasti menyenangkan.” Kau membalas lagi, “yah, secangkir kopi hitam tanpa gula dan sebatang rokok yang melekat di bibir. Menyegarkan pikiran, pastinya. Bagaimana denganmu?”. Kau menanyakanku. “aku sedang mengingatmu, seperti biasa” kujawab. Menyibukkan diriku denganmu adalah salah satu caraku mengukir kenangan indah, aku mulai menikmatinya, disamping memulai untuk melekatkan ingatanku padamu. Bukanlah sebuah pelarian kupikir, tapi mencari sebuah tambatan di mana aku harus menepi, nantinya. Bercerita dan berbagi mengenai mimpi-mimpi, saling memberi dan saling mengingatkan. Bukankah konsep kehidupan memang seperti itu? Bukan pula sesuatu yang terlalu muluk kupikir. “aku, di bawah purnama dan taburan bintang, langit yang jadi saksi, aku pun mengingatmu” kau membalas. Di luar jendela bis ini, hujan semakin keras menyapa bumi, aku masih sendiri.

Sejenak aku melamun. Kaca di bis ini menopang pipiku. Aku dikejutkan oleh dering handphone. “aku menunggumu di kota ini, Jember tercinta, untuk menuai cerita”. Lagi-lagi aku tersenyum. “tak sabar rasanya untuk merangkai kisah kita, dari sekian kisah yang pernah kita rajut”. Kukirim pesan itu padanya. Mimpiku seolah menari-nari di awan dan tak sabar untuk segera kusentuh.

Malam semakin membekap. “kopi ini jadi teman setiaku, menjadi lebih setia saat melukis bersamamu. Melukis dan merapal cerita tentang kisah romantika manusia. Cerita antara Adam dan Hawa, Rama dan Shinta, ataupun layaknya Sam pek dan Eng thai”. Balasan pesan singkat yang kuterima. Kali ini aku sedikit tertegun. Ada ketakutan dalam diriku. Aku masih belum tahu seberapa besar aku mengenali diriku sendiri. Aku takut aku tak mampu memenuhi harapan-harapanmu, meskipun aku tahu, aku akan menjadi lebih kuat saat kau ada disampingku. “yeah... kisah-kisah yang mengharukan. Dan kita akan menggoreskan kisah yang lebih istimewa”. Kubalas lagi. Keyakinan kusisipkan sedikit demi sedikit dalam diriku. “mengharukan... ya mengharukan. Bukan maksudku menawarkan kisah yang mengharukan. Semua akan bergantung pada kita sebagai penulis kisah itu. Kita adalah Walmiki-nya, kita adalah si Zhang-Du. Dan kisah ini akan jauh berbeda”. Kau membalas.

“bukankah mengharukan itu indah? Layaknya film-film korea yang selalu bisa menyentuh air mata kita, dan itu indah. Dan, kupikir setiap hal adalah indah, selama kita menyebutnya indah”. Kubalas. Aku memahami setiap jengkal inginmu, tapi keinginanku sendiri aku tak tahu. Kutengok lagi jalanan di balik jendela bis ini. Masih saja ramai meskipun hujan. Kualihkan pandanganku ke langit, berharap ada bintang walau hanya satu, dan urung harapan itu karena mendung menyelimuti langit. Tapi, aku melihatnya tersenyum.

“memang mengharukan itu juga indah. Cerita semacam itu akan menghipnotis para penikmatnya bahwa keindahan selalu berada di sekeliling mereka. Tetapi, kita akan mencipta cerita yang lebih indah. Sebuah kisah yang akan membuat dunia bahagia saat mengenangnya”. Kau membalas lagi. Aku membayangkan wajahmu yang sedang tersenyum. Berteman segelas kopi pahit dikala dingin dan asap rokok yang mengepul di sela-sela imajimu. Aku tersenyum. Begitu banyak senyum yang tergores di bibirku malam ini. Aku bahagia. Perjalanan ini kurasa sempurna. Begitu sempurna. Kita dapat menyulam cerita walau berpijak pada tanah yang berbeda. Seperti halnya kicauan burung yang bersahutan dan terdengar begitu merdu. Bernyanyi bersama alam.

Wanita yang duduk disebelahku mulai tak kuasa menahan kantuk. Beberapa saat kemudian, kepalanya jatuh di pundakku. Hemm, pergilah ia ke alam mimpi. Hujan mulai reda sedikit demi sedikit. Bis inipun mulai melaju dengan kencang. Tujuan selanjutnya adalah kota dimana aku akan meletakkan kenangan. Yogjakarta. Kota dimana aku akan menorehkan cerita untuk kesekian kalinya.

Akan ada sekian waktu lamanya hingga aku bertemu kau lagi. Jarak yang menciptakan waktu itu. Demikian sebaliknya, waktu mencipta jarak. Dan rindu sebagai buah dari perkawinannya. Biarlah, sementara ini kutahan dulu rinduku. Walaupun akan sangat sulit membendungnya dalam hari-hari didepan. Bagai membendung sungai dengan tumpukan kapas. Sia-sia.

Hari menjelang pagi. Bis yang kutumpangi sudah sampai di pertigaan Janti. Dimana biasanya aku turun. Suasana sudah mulai ramai. Kendaraan tumpah di jalan itu. Aku bergegas. Meninggalkan lambaian yang masih lekat di pelupuk mata. Menyisihkan senyum yang masih lekat dengan segelas kopi pahit. Entah aku mampu bertahan atau tidak, pastinya aku akan lama tinggal disini.

Jember, aku merindukanmu.

*****

Itulah cerita yang selalu kudengar setiap kali aku akan pergi ke luar kota. Kisah yang kau ceritakan dan sungguh lekat dengan kita. Sangat dekat. Karena memang itu cerita tentang kita. Kau menyampaikan derita itu dengan penuh perasaan hingga terkadang aku tak bisa membedakan antara senyum kebahagian kesedihan. Kau mengaduknya begitu rapi. Tapi sayang, cerita itu tak pernah kau tulis di selembar kertas ataupun di buku harian. Cerita yang kau sampaikan hanya datang dan pergi begitu saja. Seperti angin yang tak pernah mau singgah dalam waktu yang agak lama.

Aku rindu dengan semua kisah yang kau sampaikan itu. Kisah tentang kita. Makanya hari ini aku menuliskan kembali cerita itu. Aku mengingat-ingat lagi apa yang pernah kau ucapkan kemudian kutuliskan dan akan kuberikan kepada siapa saja yang pernah mengenalmu, istriku. Supaya mereka tahu betapa besar cinta kita, betapa hangatnya hati kita. Agar mereka mengerti wanita seperti apa dirimu. Supaya mereka tetap mengenangmu. Karena kau memang pantas untuk dikenang.

Untuk istriku, semoga apa yang kusambung melalui tulisan ini akan menjadi doa. Agar kau selalu bahagia disana. Agar tuhan selalu melindungimu. Akan kubawa rangkaian bunga dan kubacakan cerita ini di dekat nisanmu.

Angin semilir membawa daun berjatuhan di antara sela-sela dingin malam di pemakaman itu. Bulan tampak tersenyum melihat seorang pria yang duduk tersimpuh membawa karangan bunga dan beberapa lembar kertas di depan sebuah pusara.

Garis pada Senja

“Sayang, apakah kau ingat ketika pertama kali kita duduk di kafe itu?” Suaramu berat.

“ya, aku mengingatnya, sayang.” Dengan suara perlahan aku menjawab.

Memang, kenangan pertama kali itu yang membuatku cinta padamu dan membuatmu luruh padaku tak akan pernah kita hapus dari ingatan. Aku duduk menghadap jalan, dan kau ada di depanku membelakangi jalanan. Di teras kafe itu kita menikmati secangkir kopi pahit untukku, dan secangkir coklat hangat kesukaanmu. Khayalan kita sama-sama memuncak. Aku mulai bercerita tentang kenakalanku sewaktu remaja, kau mendengarkan dengan begitu seksama. Entah apa yang sedang kau pikirkan waktu itu, aku bertanya-tanya.

Sembari bercerita, kuteguk kopi di depanku dan kusulut sebatang rokok. Menghisapnya dalam-dalam, sedalam aku mengikhlaskan diriku untuk merasuk dalam pikiranmu dan sebaliknya. Setiap ceritaku, selalu kau akhiri dengan senyuman yang membuatku terlena. Terlena dalam impian yang kita telah berjanji padanya untuk merajut kisah bersama. Rajutan yang akan kekal saat diceritakan kembali oleh cucu-cucu kita dengan bangganya. Bagai pelangi yang akan selalu menuai keindahan dan mempesona setiap kali ia datang.

Di kafe itu, dengan tak sadar aku memegang tanganmu yang mulai basah karena gugup. Tanganku pun berkeringat. Bukankah setiap pasangan akan berkeringat ketika pertama kali berpegangan tangan? Dan kupikir itu wajar untuk kita. Sebetulnya, menghisap rokok hanya sebuah pengalihan terhadap kegugupanku. Aku bertambah gugup setiap kali memandang senyummu yang kurasa seperti memenjarakanku dalam imaji. Anginpun bersekutu dengan hati kita, sepoi-sepoi beradu pada setiap benda yang ada di depannya. Dan bintang, ya bintang-bintang itu selalu tersenyum memandang kita. Kau mengatakannya.

“Helena sayangku, istirahatlah dulu. Besok masih ada waktu.” Aku memintamu melepaskan beban untuk sementara waktu. Beban pikiran yang selalu saja kau bawa kemana pun kau pergi. Terkadang aku pun marah pada diriku yang tak mampu untuk meringankan beban yang kau jinjing di pundakmu. Apalah guna hadirku jika hanya menambah bebanmu saja? Bukankah kita mencari kebahagiaan bukannya penderitaan? Meskipun pertengkaran selalu menjadi warna-warni hidup kita, aku tetap merasa bahagia. Apalah artinya hidup jika hanya merasakan kebahagiaan, tanpa pernah merasakan penderitaan? Menurutku itulah kesempurnaan dalam menjalani kehidupan, dengan merasakan semua emosi yang telah diciptakan untuk manusia. Meskipun begitu, aku tetap gagal ketika aku tak pernah mampu meringankan beban yang kau bawa.

“aku belum mau istirahat. Aku masih ingin bersamamu.” Setengah berbisik kau ucap itu. “Apakah kau keberatan?” Kau menanyakan hal konyol itu. “Tentu saja tidak. Aku tidak keberatan, sayang.” Kemudian aku berbaring di sebelahmu. Menggenggam tanganmu. Ya, aku juga masih ingin bersamamau, Helena sayang. Sampai akhir dunia jika mungkin. Tapi untuk saat ini, istirahat adalah hal yang paling kau butuhkan. Aku ingin melihat senyumanmu saat mimpi membawamu mengitari semesta, senyummu saat esok kau hadapi fajar dengan gagahnya. Aku ingin itu.

“aku juga masih ingin bersamamu. Untuk saat ini, jenguklah dulu mimpimu, sayang. Aku akan setia disini, disampingmu.” Senyum itu merekah dengan indahnya ketika aku ucap kata-kata itu. Aku jadi teringat ketika kau utarakan cintamu setelah ku utarakan cintaku. Pipimu merona merah dan senyummu merekah. Kulit sawo matangmu yang sedikit terbakar matahari masih sudi memperlihatkan rona merah itu. Aku pun jadi tersipu dan berbunga. Aku juga tak dapat menjelaskan perasaanku waktu itu. Jika saja aku bisa terbang, mungkin sudah kukitari dunia dan menyelam ke dasar samudra untuk meluapkan perasaan bahagiaku. Tapi aku hanya bisa tersenyum hingga menegakkan bulu romaku. Yang jelas aku bahagia.

“Kamu menangis, sayang?” Helena bertanya. Secara tak sadar mataku mulai berair. Mengapa aku harus menangis? Aku tak mau Helena melihatku menangis, walaupun sebetulnya aku sering menangis dan meratapi hidupku. Jika aku menangis di hadapannya, itu hanya akan membuat dia bertambah sedih. Menambah beban yang selalu dia bawa. Saat inipun aku sebetulnya ingin menangis. Menangis karena aku tak mampu membahagiakan diriku sendiri dengan cara membahagiakanmu. Walaupun aku tak pernah tahu inginmu, tapi aku tetap ingin membahagiakanmu, sayang.

Aku sadar akan perbedaan antara kita. Jika kau beranjak untuk pergi, maka aku baru saja kembali. Jika engkau hendak membumi, maka aku ingin terbang bersama pelangi. Perbedaan itu jauh memang. Apakah perbedaan itu akan memberi jarak pada kita? Kurasa tidak, bukankah hidup itu memang untuk saling mengisi? Kau memberiku isi dan sebaliknya, jika memang kekosongan dan isi itu ada. Kita masih mencari dan selalu mencari, masih belum dikatakan selesai jika kita masih bisa untuk menalar. Dan pencarian itu memang tak akan pernah berhenti. Bukan untuk saling menyakiti dan memberi jarak, tetapi untuk saling memberi makna pada hidup kita. Kebahagiaan.

“Ah, tidak. Aku tidak menangis, Helena. Aku hanya sedikit mengantuk hingga membuat mataku mengeluarkan air.” Kau tersenyum mendengar itu.”Kalau begitu tidur saja.” Tidak, aku tidak mau tertidur dan melewatkan setiap senyummu yang terukir lewat mimpi. Aku tak ingin melepas mataku dari dirimu. “Iya, Helena. Aku tidur di sini. Di sampingmu.”

Kuusap rambutmu yang hitam nan berombak. Lembut. Perlahan-lahan kau mulai memejamkan mata. Aku hanya ingin berada disampingmu saat kau tertidur sayang. Tetap memandang kemilau senyum yang melukis pelangi hatiku. Aku ingin bisa menjagamu kala itu. Menjauhkan segala hal yang akan mengganggu tidurmu. Sesekali mengusir nyamuk yang hendak hinggap di kulit ari-mu. Atau hanya mengipasi tubuhmu ketika kau sedang gerah. Sesekali keningmu ku kecup, dan kau tersenyum. Manja sekali. Aku mencintaimu, Helena.

Oh ya, dulu kau pernah memintaku untuk membaca sepotong sajak milik Sapardi yang berjudul Sajak Kecil Tentang Cinta. Sebuah pilihan sajak yang pintar. Karena kau memang seorang yang pintar. Kubaca sajak itu perlahan di telingamu sebagai pengantarmu menuju alam mimpi. Sajak yang romantis. Kau suka sekali ketika kubacakan sebuah sajak tentang cinta dan kehidupan. Sering sekali kau kirimi aku sebuah sajak setelah pertengkaran kecil yang kita perbuat. Bagai sebuah mantra, sajak itu terkadang menjadi sebuah penengah antra kita dan mengikat kita lagi dalam satu lingkaran.

Dengan suara pelan kuucap “MencintaiMu, harus menjelma, aku” di telingamu. Spertinya kau menyukai kata-kata itu. Kukira kau telah tertidur, ternyata kau masih saja merespon apa yang kau dengar. Tanganmu kemudian merangkul tanganku dengan erat. Erat sekali. Aku tetap merebahkan diri disampingmu. Menjagamu yang sedang beristirahat dan terbang bersama peri-peri dalam mimpimu mengitari langit dan menikmati bintang. Dan kau akan menyirami bunga-bunga yang tertanam di setiap halaman rumah yang telah kau bangun di setiap bintang yang kau tuju.

“Sayang, aku ingin menikmati senja di pantai.” Tiba-tiba saja kau terjaga kembali. Jemarimu membelai lembut tanganku. “aku takut kita tidak memiliki waktu lain lagi.” Engkau menggerutu.

“Sabarlah sayang, besok masih ada waktu. Jangan kau buka matamu, istirahat saja.”

“Apa kita masih akan melihat senja?”

“Jika Tuhan mengijinkan, Helena.”

“Ah, entahlah. Tuhan belum pernah menemuiku.”

“Iya, tapi Dia tetap mencintaimu.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Dia memberimu cinta yang indah dan kau abdikan padaku, untuk selalu ada di sisimu.”

“Apakah Tuhan juga mencintaimu?”

“Ya, tentu saja. Dia pun memberiku cinta tulus yang ku suguhkan padamu, bukan?”

Kau pun kembali memejamkan mata. Aku kembali membelai rambutmu. Mengecup keningmu. Memandang senja di wajahmu. Wajah yang terkadang ceria, juga terkadang sering dengan masam menyambutku di pelataran rumah, tetapi pemilik wajah itu tetap orang yang mencintaiku walau sekarang wajah itu sudah tak lagi sama.

Kau tertidur. Senyum itu mengembang kembali.

Sesaat kemudian, aku menekan tombol darurat di sebelah tempatmu tertidur. Beberapa Orang perawat datang. Layar monitor di sebelah tempat tidurmu mulai membentuk garis lurus. Aku tahu jika waktu ini akan tiba. Aku tidak akan menyesali perpisahan ini, karena indahnya pertemuan kita sudah lebih dari cukup untuk membayar kesedihanku.

Aku memandang layar itu, disana terlihat wajahmu yang merindukan senja dan tak sabar menemui bintang. Sayang, aku kan tetap disini.

Jember, 20 Agustus 2011

Lentera

“Deni, lentera itu sangat berharga. Dia akan menerangi apapun yang ada di dekatnya. Jadilah seperti lentera itu. Kau akan mampu menerangi siapapun yang ada disekelilingmu.” Ucap kakek sehabis makan malam. Sembari tangannya memegang uliran yang ada di lentera dia kembali berkata padaku. Lentera ini selalu menemani kakek kemanapun kakek pergi. Waktu kakek mencari ikan pada malam hari, ketika kakek mendapat giliran meronda, ataupun ketika mengantarkanmu ke rumah temanmu. Sungguh indah menjadi lentera yang akan selalu berguna bagi siapa saja.” Waktu itu aku hanya manggut-manggut sambil meneruskan makanku.

Sedari kecil, liburan ke tempat kakek menjadi salah satu favoritku. Di sebuah desa di lereng argopuro. Desa Kemiri. Kakekku tinggal seorang diri semenjak nenek tiada, itu 10 tahun yang lalu. Sehari-harinya pekerjaan kakek adalah mencari rumput untuk makan ternaknya. Kakek memiliki 2 ekor sapi dewasa dan 1 ekor sapi yang masih berusia 6 bulan. Selain itu kakek juga punya sepuluh ekor kambing.

Setiap setahun sekali, pada hari raya idul adha, kakek menjual salah satu hewan ternaknya. Dari sanalah kakek mendapat penghasilan. Selain itu, kakek juga mencarikan rumput bagi peternak yang lain. 10.000 rupiah sebagai pengganti rumput sekarung. Dalam sehari kakek biasanya mendapat uang 20 sampai 30ribu rupiah. Tenaga yang dia kuras semenjak pagi hingga sore hari. Dia biasanya mencari rumput di lereng pegunungan ini. Tak jarang juga ia pergi jauh masuk ke pegunungan Argopuro. Jika berniat hingga malam, lentera yang ada dirumahnya tak akan ketinggalan dia bawa.

Ketika aku beranjak SMA, kakek pernah mengajakku menginap di tengah hutan. Waktu itu kami hanya membawa tikar dan sarung yang bisa digunakan untuk shalat, tak ketinggalan lentera itu juga dibawanya. Ketika aku duduk di bangku SMA, shalat tidak lagi menjadi hal yang penting bagiku, tetapi kakek selalu mengingatkanku dengan sabarnya. “Shalat itu bukan untuk orang lain, Deni. Shalat itu supaya kamu lebih mengenal dirimu sendiri dan Tuhan.” Begitulah yang selalu dia katakana. Semalam di hutan, bagiku yang hidupnya terbiasa di kota dengan perlengkapan yang sudah tersedia, bisa sangat menyiksa. Nyamuk yang tak kurang-kurang selalu datang dan menghisap darahku sekaligus hawa yang begitu dingin hingga membuat bibirku bergletak. Ketika aku kedinginan, kakek mendekatkan lentera itu padaku. “taruh tanganmu di dekat lentera ini.” Begitu perintah kakek.

Kakek hanya punya seorang keturunan, yaitu ayahku. Ayahku pun hanya punya seorang keturunan, sehingga aku adalah satu-satunya cucu keturunan kakekku. Perhatiannya pun tercurahkan padaku.

Semenjak aku lulus kuliah dan bekerja, aku jarang menemui kakek. Aku telah disibukkan dengan tugas-tugas kantor yang terkadang belum juga selesai ketika aku pulang. Menjadi karyawan adalah kehidupanku sekarang. Bekerja enam hari dalam seminggu, berangkat pukul 07.00 pulang pukul 17.00 terkadang aku harus lembur hingga pukul 20.00 jika akhir bulan. Waktuku telah tersita untuk bekerja dan mencari uang. Padahal hingga saat ini aku masih belum menikah. Terkadang teman kantorku berkata dengan usil “buat apa kau bekerja begitu rajin, toh istri saja kau belum punya” ucapnya sekali waktu. Menurutku, daripada aku harus berdiam di rumah saja tanpa melakukan apa-apa, lebih baik aku di kantor bekerja dengan upah tambahan. Setidaknya upah itu bisa untuk membayar cicilan mobil yang saat itu sudah menunggak dua bulan.

Sebegitu disibukkannya dengan pekerjaan hingga membuatku tak sempat membaca sepucuk surat dari ayahku. Sudah tiga hari surat itu tergeletak di meja di samping tempat tidurku. Di meja itu terdapat sebuah lampu tidur pemberian ayah. Beberapa lembar foto dengan bingkai yang juga ayah belikan. Fotoku dengan kakek juga terpajang di sana.

Kubaca surat dari ayah.

“Deni, jika kau sempat jenguklah kakekmu di rumah. Semenjak seminggu kemarin beliau sakit dan ayah membawanya pulang ke rumah agar lebih mudah berobat. Setelah ke dokter, sakit kakek semakin menjadi. Dia menjadi pelupa, bahkan untuk buang air besar pun dia sudah lupa caranya. Dari kemarin, dia selalu menanyakanmu. Hanya kamu yang dia tidak lupa, padahal nama ayah saja dia sering salah mengucap.

Kalaulah pekerjaanmu sedikit longgar, cobalah kau pulang barang sehari atau dua hari. Mintalah cuti pada kantor, toh selama ini kamu belum pernah cuti. Ayah berharap kamu bisa segera pulang.

Salam Hangat

Ayah.”

Keesokan harinya aku langsung minta cuti dari kantor. Sudah setahun aku tak pernah cuti, dan sekarang aku bisa mengambil jatah cutiku yang tahun kemarin. Demi mempercepat perjalanan, aku naik pesawat dari Jakarta menuju Surabaya. Dari Surabaya ke Jember aku menggunakan bis Patas. Sore hari ketika langit berwarna jingga aku sudah sampai di rumah ayah.

Aku terdiam saat ayah bilang kakek sudah tidak bersama kita lagi. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk menenangkan hatiku. Menyalahkan diriku sendiri yang tak pernah punya waktu untuk sekedar menjenguk kakek yang hanya tinggal seorang diri. Menyalahkan diriku karena terlalu egois terhadap duniaku. Menyalahkan diriku sendiri karena tak sempat menemani kakek pada saat-saat terakhirnya. Menyalahkan diriku sendiri yang masih belum sempat membalas kebaikan kakek.

Tak terasa air mataku mulai menetes di pipi. Aku tak ingin menangis, tetapi air mataku tak bisa kutahan. Dari belakang, ibu menepuk pundakku. “relakan saja, supaya dia bisa istirahat dengan tenang.”

Sepeninggal kakek, dia mewariskan rumahnya di desa beserta ternaknya padaku. Tak luput lentera yang selalu menemaninya. Kakek berpesan pada ayahku agar memberikan lentera itu padaku, supaya aku bisa menjaganya. Jika aku pulang ke kota, lentera itu tak mungkin aku butuhkan. Penerangan dari lentera itu sudah terlalu ketinggalan jaman bagi sebuah kota besar dan congkak semacam Jakarta. Bagi Jakarta, lentera semacam itu tak diperlukan lagi, karena listrik sudah menyediakan segalanya termasuk penerangan.

Satu pesan kakek yang selalu kuingat, adalah menjadi seperti lentera yang menerangi sekitarnya. Aku waktu itu masih bingung harus menjadi seperti apa. Setelah penguburan jasad kakek, aku kembali ke Jakarta membawa lentera warisan kakek. Sedangkan rumah beserta isinya telah kuserahkan pada yayasan anak yatim. Mereka menggunakannya untuk pengembangan pendidikan sesuai dengan ijinku.

Lentera itu kuletakkan di meja di sebelah tempat tidurku. Setiap malam menerangi foto masa kecilku bersama kakek. Setiap malam, menjelang aku tertidur, lentera itu selalu menerangi mimpiku.

Jember, 24 Agustus 2011

Ebhi Yunus Basri