Selasa, 12 Juni 2012

Sekilas tentang Makna

Saat kita berada di sebuah pasar tradisional yang penuh sesak dengan para penjual dan pembeli, sesekali waktu kita akan menemukan penjual mainan yang mengatakan “sayang anak… sayang anak”. Secara kasat, apa yang diujarkan oleh penjual tersebut tidak mewakili apa yang sedang ia jual. Tetapi kita sebagai pembeli langsung memahami, apabila ada yang mengucapkan kata tersebut, pasti ia sedang menjual mainan untuk anak-anak.
Contoh lain ketika kita sedang bersantai duduk di sofa rumah, kemdian kita mendengar suara “ting..ting..ting” (suara mangkok yang dipukul dengan sendok), maka kita akan langsung mengetahui bahwa ada penjual bakso yang sedang melewati daerah sekitar rumah kita.
Bagaimana kita bisa langsung memahami hal-hal semacam itu? Jawabannya adalah sebuah pemaknaan. Kita sebagai mahluk hidup selalu berusaha untuk mencari makna akan segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Begitu pula dalam kebahasaan. Kata-kata “sayang anak” mengacu pada sebuah satuan makna yaitu menyayangi anak kita sendiri (pada kalimat ini terjadi sebuah proses ellipsis – peleburan kata. Dalam kaidah bahasa, seharusnya kalimat tersebut berbunyi “sayangilah anak anda!” yang merupakan sebuah kalimat perintah). Menyayangi anak bisa melalui pemberian perhatian, cinta, dan lainnya. Dalam tataran selanjutnya, memberikan perhatian kepada anak bisa saja mengacu kepada pemberian mainan.
Dari contoh yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat jelas bila kehadiran sebuah makna atau arti, tidak dapat disangkal lagi, akan menjadi bagian dari suatu kondisi manusia yang hidup dan berpikir. Ilmu yang mempelajari tentang makna adalah semantik. Kata semantik sebetulnya merupakan sebuah istilah teknis yang mengarah pada sebuah studi tentang makna. Kambartel dalam Pateda (2010:7) berpendapat secara sederhana bahwa semantik adalah studi tentang makna. Pendapat ini mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia.
Lebih lanjut lagi, seperti yang telah dikutip Pateda dari Ensiklopedia Britanika (2010:7), penjelasan mengenai semantik memiliki batasan yang hampir sama yaitu semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau symbol dalam aktifitas bicara.
Lebih lanjut, Verhaar (2010:385) menyebutkan bahwa makna hadir pada tataran tatabahasa (morfologi dan sintaksis) maupun secara leksikon. Sehingga dari sini semantik dapat dibagi menjadi semantik gramatikal dan semantik leksikal. Verhaar (2010:386) menggambarkan sebuah skema kedudukan semantik xang dipandang melalui sistematika bahasa.



Bagan 4. Kedudukan Semantik dalam sistematik bahasa menurut Verhaar.
(Sumber: Verhaar, 2010:386)

Menurut gambar di atas, sintaksis dapat dibagi pada tiga tataran: Fungsi, Kategori, dan Peran. Kemudian morfologi yang barada pada cakupan yang sama yaitu semantik gramatikal. Sedangkan kebahasaan seperti fonologi dan fonetik, walaupun fonem berperan sebagai pembeda makna, mereka tidak memiliki tingkatan makna. Pada tata bahasa yang terakhir yaitu leksikon, makna akan hadir dan disebut sebagai semantik leksikal.
Dari gambar diatas, semantik bahasa mencakup keseluruhan dari ilmu kebahasaan. Bila ilmu kebahasaan itu adalah sebuah bentuk, maka semantik adalah makna dari bentuk tersebut. Hal tersebut merupakan sebuah pemikiran yang rasional, karena setiap tindak ujaran kita, bahasa, selalu memiliki makna.
Lebih lanjut Pateda (2010:8) menggambarkan semantik dilihat dari tataran linguistik. Dia menggambarkan cabang linguistik dari tataran terkecil hingga ke area yang lebih luas yaitu analisis wacana. Kesemuanya merupakan sebuah kesinambungan yang saling berhubungan satu dan yang lainnya (reciprocal).


Bagan 5. Semantik dalam tataran linguistik menurut Pateda.
(Sumber: Pateda, 2010:8)
Gambar diatas memiliki perbedaan dengan skema yang telah digambarkan oleh Pateda (2010:8). Jika pada skema yang digambarkan oleh Pateda morfologi termasuk pada bagian semantik leksikal, disini penulis tetap meletakkannya pada area semantik gramatikal. Bila pada skema Pateda, dia tidak memasukkan leksikon sebagai bagian dari linguistik, disini penulis memasukkannya sebagai bagian dari linguistik.
Pada gambar di atas, terdapat tanda panah di antara leksikon hingga wcana. Hal ini menunjukkan bahwa acuan lambing dan makna saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Sedangkan pada bagian bawah terdapat sebuah garis putus-putus di antara semantik dan satuan lainnya. hal tersebut dapat diasumsikan bahwa antara semantik dan linguistik lain tidak memiliki kaitan antara acuan, lambang dan makna.

a.      Makna Analitis (Referensial)
Secara garis besar elemen bahasa terdiri dari dua macam, yakni elemen bentuk dan elemen makna (Wijana&Rohmadi. 2011:1). Bentuk disini merupakan ujaran atau sebuah fisik dari tuturan. Bentuk tersebut diwujudkan dengan bunyi, suku kata, morfem, kata, hingga wacana. Bagi Kridalaksana (dalam Wijana dan Rohmadi. 2011:1) wacana ini menduduki tataran tertinggi yang perwujudannya dapat berupa karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb), paragraph, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang utuh. Amanat utuh tdrsebut dapat berdiri pada sebuah kata yang terujar dengan memperhatikan konteksnya.
Hubungan antara bentuk dan makna menjadi sebuah definisi tersendiri. Bagi Saussure (dalam Wijana&Rohmadi. 2011:3) hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbitrer dan konvensional. Sifat arbitrer mengandung pengertian tidak ada hubungan klausal, logis, alamiah ataupun historis, dsb. antara bentuk dan makna. Sementara itu, sidat konvensional menyarankan bahwa hubungan antara bentuk kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan bersama.
Lebih lanjut lagi, Wijana dan Rohmadi menambahkan bila bentuk-bentuk kebahasaan memiliki konsep yang bersifat mental dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense). Menurutnya, makna adalah konsep abstrak pengalaman manusia.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam model analitis mengenai makna, terdapat tiga unsure penting yaitu; bentuk, makna (konsep), referensi. Odgen dan Richards dalam Ullman (2011:66) mengemukakan segitiga dasar mengenai model analitis ini.

Bagan 6. Segitiga dasar model analitis makna
(Sumber: Ullman, 2011:66)
Garis putus-putus antara Bentuk/Lambang dengan Referen/Acuan mengarah pada sebuah pemahaman bila antara bentuk dan acuan tidak memiliki hubungan langsung. Hubungan antara bentuk dan acuan dimediasi oleh titik puncak segitiga yaitu konsep/pikiran.
Bila kita menemui sebuah tulisan /mangga/, maka pikiran kita akan langsung membayangkan sebuah bentuk dari acuan kata tersebut yaitu ‘buah mangga’. Tulisan tersebut merupakan bentuk/lambang-nya sedangkan imajinasi kita adalah makna/konsep-nya, sedangkan buah mangga adalah referen/acuan-nya.
Dalam semantic, ada berbagai jenis makna yang dibedakan secara dikotomis menjadi beberapa macam. Makna tersebut antara lain; denotatif dan konotatif, makna literal dan figuratif, makna primer dan sekunder. Makna tersebut digolongkan dari sudut pandang yang berbeda-beda.



1.      Makna Denotatif dan Konotatif
Makna kata dhahar dan mangan memiliki acuan/referen yang sama-sama berada di luar konteks bahasa, yaitu mengacu pada sebuah kegiatan mengkonsumsi benda padat dengan mengunyah. Komponen makna ini merupakan sebuah komponen yang berdiri pada makna sebenarnya. Keseluruhan komponen ini disebut dengan denotata. Oleh karenanya, makna yang demikian disebut makna denotatif (Wijana&Rohmadi, 2011:15).
Walaupun kedua kata di atas memiliki makna denotative yang sama, kata dhahar dan mangan memiliki nilai emotif yang berbeda. Nilai emotif ini merujuk pada konsep halus dan kasar sebuah kata. Wijana dan Rohmadi (2011:15) menyebutkan bahwa nilai emotif yang terdapat pada suatu bentuk kebahasaan disebut konotasi.
Kedua bentuk makna diatas masih memiliki referen/acuan yang sama. Yang membedakan antara keduanya adalah pada nilai emotif yang terkandung pada setiap kata.
2.      Makna Literal dan Figuratif
Makna literal merupakan makna yang belum mengalami perpindahan penerapan kepada referen yang lain (Wijana&Rohmadi, 2011:16). Kata buaya pada kalimat “Di sungai itu ada seekor buaya yang besar” mengacu kepada referennya yang harfiah, yaitu sebangsa binatang melata berkaki empat yang hidup di rawa dan di sungai. Pada kata tersebut, makna yang tercantum secara lugas dan harfiah mengacu pada referennya. Oleh sebab itu makna ini disebut dengan makna literal, makna lugas, ataupun makna harfiah.
Proses pemaknaan tersebut akan berubah bila konteks kebahasaan berubah. Sebagai contoh pada kalimat berikut:
Dia memang seorang buaya darat.
Pada kalimat di atas, referen/acuannya tidak mengarah pada sejenis binatang melata, tetapi disimpangkan ke referen yang lain. Hal tersebut dimaksudkan untuk berbagai tujuan etis(moral), estetis(keindaha), insultif(penghinaan), dsb. Menurut Wijana dan Rohmadi (2011:17), makna bentuk kebahasaan yang menyimpang dari referennya biasa disebut makna figuratif.
.
3.      Makna Primer dan Sekunder
Dari uraian di atas, dapat diketahui bila makna denotative dan makna literal dapat dipahami tanpa adanya bantuan konteks. Makna tersebut bekerja pada tataran pemahaman pertama. Makna ini disebut dengan makna primer.
Sedangkan makna konotatif dan makna figurative harus dipahami dengan menggunakan bantuan konteks kebahasaan. Makna ini disebut dengan makna sekunder.
Di dalam semantic juga terdapat hubungan bentuk dan makna yang memiliki kedudukan sentral. Diantaranya adalah; sinonimi, antonimi, polisemi, homonimi, hiponimi, dan metonimi.

a.       Sinonimi
Sinonimi adalah hubungan atau relasi persamaan makna. Jadi, bentuk kebahasaan yang satu memiliki kesamaan makna dengan bentuk kebahasaan yang lain (Wijana & Rohmadi, 2011:20). Contoh: ayah dan bapak, istri dan bini, dhahar dan mangan. Kesemua kata tersebut memiliki referen/acuan yang sama.

b.      Antonimi
Antonimi adalah perlawanan kata (Wijana & Rohmadi, 2011:25). Perlawanan kata tersebut dapat berupa yang hanya beranggotakan dua buah kata. Contoh; hidup – mati, jantan – betina. Perlawanan kata yang berhubungan semacam ini, sehingga tidak memungkinkan adanya kata atau anggota pasangan lain, disebut dengan Antonimi Biner. Sedangkan pada kata ‘air ini tidak dingin’, belum tentu ‘air ini panas’. Perlawanan kata yang memungkinkan adanya anggota pasangan lain dikarenakan sifat keberlanjutannya, disebut dengan Antonimi Non-Biner.


c.       Polisemi
Polisemi adalah sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna (Wijana & Rohmadi, 2011:31). Macam-macam makna antara yang satu dengan yang lain dapat ditelusuri sehingga sampai pada suatu kesimpulan bila makna tersebut berasal dari sumber yang sama. Contoh yang diberikan oleh Wijana dan Rohmadi (2011:32) sebagai berikut;

Dari contoh tersebut, ada kesamaan makna dari keseluruhan anggota, yakni ‘kecil’.

d.      Homonimi
Homonimi adalah dua kata atau lebih yang secara kebetulan memiliki pola bunyi yang sama. Wijana dan Rohmadi (2011:43) menyebutkan karena butir leksikal yang berbeda, pasangan berhomonim memiliki makna yang berbeda.
Contoh; bisa. Kata tersebut bermakna ‘dapat’ dan juga ‘racun’. Pada kalimat ‘dia pasti bisa menyelesaikan soal itu’, kata bisa memiliki makna ‘dapat’. Sedangkan pada kalimat ‘ular itu memiliki bisa yang kuat’. Kata bisa bermakna ‘racun’.

e.       Hiponimi
Kridalaksana dalam Wijana dan Rohmadi (2011:53) menyebutkan bila hiponimi adalah hubungan semantic antara makna spesifik dan makna generic, atau antara anggota taksonomi dengan nama taksonomi. Sebagai contoh kata rambutan, mangga, anggur, durian, alpukat merupakan makna spesifik dari sebuah makna generic ‘buah’. Kata buah adalah nama taksonomi, sedangkan yang bermakna spesifik adalah anggota taksonomi.

f.       Metonimi
Metonimi adalah makna suatu kata yang berubah karena kedekatan hubungan kata-kata yang bersangkutan secara ekstralingual (Wijana & Rohmadi, 2011:54). Sebgai contoh kata amplop dan dompet. Kedua kata tersebut sering kita gunakan untuk menggantikan kata uang. Semisal pada kalimat:
-          Aku tidak membawa amplop di pernikahan temanku
-          Dia tidak jadi membeli makan karena lupa membawa dompet.
Pada kedua kata di dua kalimat di atas, amplop dan dompet merupakan tempat untuk menaruh uang. Kedua kata tersebut memiliki kesamaan secara fungsi, yaitu penempatan uang, sehingga kata tersebut juga sering kali menggantikan kata uang.