Saat
kita berada di sebuah pasar tradisional yang penuh sesak dengan para penjual
dan pembeli, sesekali waktu kita akan menemukan penjual mainan yang mengatakan
“sayang anak… sayang anak”. Secara kasat, apa yang diujarkan oleh penjual
tersebut tidak mewakili apa yang sedang ia jual. Tetapi kita sebagai pembeli
langsung memahami, apabila ada yang mengucapkan kata tersebut, pasti ia sedang
menjual mainan untuk anak-anak.
Contoh
lain ketika kita sedang bersantai duduk di sofa rumah, kemdian kita mendengar
suara “ting..ting..ting” (suara mangkok yang dipukul dengan sendok), maka kita
akan langsung mengetahui bahwa ada penjual bakso yang sedang melewati daerah
sekitar rumah kita.
Bagaimana
kita bisa langsung memahami hal-hal semacam itu? Jawabannya adalah sebuah pemaknaan.
Kita sebagai mahluk hidup selalu berusaha untuk mencari makna akan segala
sesuatu yang ada di sekitar kita. Begitu pula dalam kebahasaan. Kata-kata
“sayang anak” mengacu pada sebuah satuan makna yaitu menyayangi anak kita
sendiri (pada kalimat ini terjadi sebuah proses ellipsis – peleburan kata.
Dalam kaidah bahasa, seharusnya kalimat tersebut berbunyi “sayangilah anak anda!”
yang merupakan sebuah kalimat perintah). Menyayangi anak bisa melalui pemberian
perhatian, cinta, dan lainnya. Dalam tataran selanjutnya, memberikan perhatian
kepada anak bisa saja mengacu kepada pemberian mainan.
Dari
contoh yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat jelas bila kehadiran
sebuah makna atau arti, tidak dapat disangkal lagi, akan menjadi bagian dari
suatu kondisi manusia yang hidup dan berpikir. Ilmu yang mempelajari tentang
makna adalah semantik. Kata semantik
sebetulnya merupakan sebuah istilah teknis yang mengarah pada sebuah studi
tentang makna. Kambartel dalam Pateda (2010:7) berpendapat secara sederhana
bahwa semantik adalah studi tentang makna. Pendapat ini mengasumsikan bahwa
bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan
objek dalam pengalaman dunia manusia.
Lebih
lanjut lagi, seperti yang telah dikutip Pateda dari Ensiklopedia Britanika (2010:7), penjelasan mengenai semantik
memiliki batasan yang hampir sama yaitu semantik adalah studi tentang hubungan
antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau symbol dalam
aktifitas bicara.
Lebih
lanjut, Verhaar (2010:385) menyebutkan bahwa makna hadir pada tataran
tatabahasa (morfologi dan sintaksis) maupun secara leksikon. Sehingga dari sini
semantik dapat dibagi menjadi semantik
gramatikal dan semantik leksikal.
Verhaar (2010:386) menggambarkan sebuah skema kedudukan semantik xang dipandang
melalui sistematika bahasa.
Bagan
4. Kedudukan Semantik dalam sistematik bahasa menurut Verhaar.
(Sumber:
Verhaar, 2010:386)
Menurut
gambar di atas, sintaksis dapat dibagi pada tiga tataran: Fungsi, Kategori, dan
Peran. Kemudian morfologi yang barada pada cakupan yang sama yaitu semantik gramatikal. Sedangkan
kebahasaan seperti fonologi dan fonetik, walaupun fonem berperan sebagai
pembeda makna, mereka tidak memiliki tingkatan makna. Pada tata bahasa yang terakhir
yaitu leksikon, makna akan hadir dan disebut sebagai semantik leksikal.
Dari
gambar diatas, semantik bahasa mencakup keseluruhan dari ilmu kebahasaan. Bila
ilmu kebahasaan itu adalah sebuah bentuk, maka semantik adalah makna dari
bentuk tersebut. Hal tersebut merupakan sebuah pemikiran yang rasional, karena
setiap tindak ujaran kita, bahasa, selalu memiliki makna.
Lebih
lanjut Pateda (2010:8) menggambarkan semantik dilihat dari tataran linguistik.
Dia menggambarkan cabang linguistik dari tataran terkecil hingga ke area yang
lebih luas yaitu analisis wacana. Kesemuanya merupakan sebuah kesinambungan
yang saling berhubungan satu dan yang lainnya (reciprocal).
Bagan
5. Semantik dalam tataran linguistik menurut Pateda.
(Sumber:
Pateda, 2010:8)
Gambar
diatas memiliki perbedaan dengan skema yang telah digambarkan oleh Pateda
(2010:8). Jika pada skema yang digambarkan oleh Pateda morfologi termasuk pada
bagian semantik leksikal, disini penulis tetap meletakkannya pada area semantik
gramatikal. Bila pada skema Pateda, dia tidak memasukkan leksikon sebagai
bagian dari linguistik, disini penulis memasukkannya sebagai bagian dari linguistik.
Pada
gambar di atas, terdapat tanda panah di antara leksikon hingga wcana. Hal ini menunjukkan
bahwa acuan lambing dan makna saling berkaitan antara satu dengan lainnya.
Sedangkan pada bagian bawah terdapat sebuah garis putus-putus di antara semantik
dan satuan lainnya. hal tersebut dapat diasumsikan bahwa antara semantik dan linguistik
lain tidak memiliki kaitan antara acuan, lambang dan makna.
a.
Makna
Analitis (Referensial)
Secara
garis besar elemen bahasa terdiri dari dua macam, yakni elemen bentuk dan
elemen makna (Wijana&Rohmadi. 2011:1). Bentuk disini merupakan ujaran atau
sebuah fisik dari tuturan. Bentuk tersebut diwujudkan dengan bunyi, suku kata,
morfem, kata, hingga wacana. Bagi Kridalaksana (dalam Wijana dan Rohmadi.
2011:1) wacana ini menduduki tataran tertinggi yang perwujudannya dapat berupa
karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb), paragraph, kalimat,
atau kata yang membawa amanat yang utuh. Amanat utuh tdrsebut dapat berdiri
pada sebuah kata yang terujar dengan memperhatikan konteksnya.
Hubungan
antara bentuk dan makna menjadi sebuah definisi tersendiri. Bagi Saussure
(dalam Wijana&Rohmadi. 2011:3) hubungan antara bentuk dan makna bersifat
arbitrer dan konvensional. Sifat arbitrer mengandung pengertian tidak ada
hubungan klausal, logis, alamiah ataupun historis, dsb. antara bentuk dan
makna. Sementara itu, sidat konvensional menyarankan bahwa hubungan antara
bentuk kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan
bersama.
Lebih
lanjut lagi, Wijana dan Rohmadi menambahkan bila bentuk-bentuk kebahasaan
memiliki konsep yang bersifat mental dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense). Menurutnya, makna adalah konsep
abstrak pengalaman manusia.
Dari
uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam model analitis mengenai makna,
terdapat tiga unsure penting yaitu; bentuk, makna (konsep), referensi. Odgen
dan Richards dalam Ullman (2011:66) mengemukakan segitiga dasar mengenai model
analitis ini.
Bagan
6. Segitiga dasar model analitis makna
(Sumber:
Ullman, 2011:66)
Garis
putus-putus antara Bentuk/Lambang dengan Referen/Acuan mengarah pada sebuah
pemahaman bila antara bentuk dan acuan tidak memiliki hubungan langsung.
Hubungan antara bentuk dan acuan dimediasi oleh titik puncak segitiga yaitu konsep/pikiran.
Bila
kita menemui sebuah tulisan /mangga/, maka pikiran kita akan langsung membayangkan
sebuah bentuk dari acuan kata tersebut yaitu ‘buah mangga’. Tulisan tersebut
merupakan bentuk/lambang-nya sedangkan imajinasi kita adalah makna/konsep-nya,
sedangkan buah mangga adalah referen/acuan-nya.
Dalam
semantic, ada berbagai jenis makna yang dibedakan secara dikotomis menjadi
beberapa macam. Makna tersebut antara lain; denotatif dan konotatif, makna
literal dan figuratif, makna primer dan sekunder. Makna tersebut digolongkan
dari sudut pandang yang berbeda-beda.
1.
Makna
Denotatif dan Konotatif
Makna
kata dhahar dan mangan memiliki acuan/referen yang sama-sama berada di luar
konteks bahasa, yaitu mengacu pada sebuah kegiatan mengkonsumsi benda padat
dengan mengunyah. Komponen makna ini merupakan sebuah komponen yang berdiri
pada makna sebenarnya. Keseluruhan komponen ini disebut dengan denotata. Oleh karenanya, makna yang
demikian disebut makna denotatif (Wijana&Rohmadi, 2011:15).
Walaupun
kedua kata di atas memiliki makna denotative yang sama, kata dhahar dan mangan memiliki nilai emotif yang berbeda. Nilai emotif ini merujuk
pada konsep halus dan kasar sebuah kata. Wijana dan Rohmadi (2011:15)
menyebutkan bahwa nilai emotif yang terdapat pada suatu bentuk kebahasaan
disebut konotasi.
Kedua
bentuk makna diatas masih memiliki referen/acuan yang sama. Yang membedakan
antara keduanya adalah pada nilai emotif yang terkandung pada setiap kata.
2.
Makna
Literal dan Figuratif
Makna literal merupakan makna yang belum mengalami
perpindahan penerapan kepada referen yang lain (Wijana&Rohmadi, 2011:16).
Kata buaya pada kalimat “Di sungai itu ada seekor buaya yang besar” mengacu kepada referennya yang harfiah, yaitu
sebangsa binatang melata berkaki empat yang hidup di rawa dan di sungai. Pada
kata tersebut, makna yang tercantum secara lugas dan harfiah mengacu pada
referennya. Oleh sebab itu makna ini disebut dengan makna literal, makna lugas, ataupun makna harfiah.
Proses pemaknaan tersebut akan berubah bila konteks
kebahasaan berubah. Sebagai contoh pada kalimat berikut:
Dia memang seorang buaya darat.
Pada kalimat di atas, referen/acuannya tidak
mengarah pada sejenis binatang melata, tetapi disimpangkan ke referen yang
lain. Hal tersebut dimaksudkan untuk berbagai tujuan etis(moral),
estetis(keindaha), insultif(penghinaan), dsb. Menurut Wijana dan Rohmadi (2011:17),
makna bentuk kebahasaan yang menyimpang dari referennya biasa disebut makna figuratif.
.
3.
Makna
Primer dan Sekunder
Dari
uraian di atas, dapat diketahui bila makna denotative dan makna literal dapat
dipahami tanpa adanya bantuan konteks. Makna tersebut bekerja pada tataran
pemahaman pertama. Makna ini disebut dengan makna
primer.
Sedangkan
makna konotatif dan makna figurative harus dipahami dengan menggunakan bantuan
konteks kebahasaan. Makna ini disebut dengan makna sekunder.
Di
dalam semantic juga terdapat hubungan bentuk dan makna yang memiliki kedudukan
sentral. Diantaranya adalah; sinonimi, antonimi, polisemi, homonimi, hiponimi,
dan metonimi.
a. Sinonimi
Sinonimi
adalah hubungan atau relasi persamaan makna. Jadi, bentuk kebahasaan yang satu
memiliki kesamaan makna dengan bentuk kebahasaan yang lain (Wijana &
Rohmadi, 2011:20). Contoh: ayah dan bapak, istri dan bini, dhahar dan mangan. Kesemua
kata tersebut memiliki referen/acuan yang sama.
b. Antonimi
Antonimi adalah perlawanan kata (Wijana &
Rohmadi, 2011:25). Perlawanan kata tersebut dapat berupa yang hanya
beranggotakan dua buah kata. Contoh; hidup – mati, jantan – betina. Perlawanan kata
yang berhubungan semacam ini, sehingga tidak memungkinkan adanya kata atau
anggota pasangan lain, disebut dengan Antonimi Biner. Sedangkan pada kata ‘air
ini tidak dingin’, belum tentu ‘air
ini panas’. Perlawanan kata yang
memungkinkan adanya anggota pasangan lain dikarenakan sifat keberlanjutannya,
disebut dengan Antonimi Non-Biner.
c. Polisemi
Polisemi
adalah sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna (Wijana
& Rohmadi, 2011:31). Macam-macam makna antara yang satu dengan yang lain
dapat ditelusuri sehingga sampai pada suatu kesimpulan bila makna tersebut
berasal dari sumber yang sama. Contoh yang diberikan oleh Wijana dan Rohmadi (2011:32)
sebagai berikut;
Dari
contoh tersebut, ada kesamaan makna dari keseluruhan anggota, yakni ‘kecil’.
d. Homonimi
Homonimi adalah dua kata atau lebih yang secara
kebetulan memiliki pola bunyi yang sama. Wijana dan Rohmadi (2011:43)
menyebutkan karena butir leksikal yang berbeda, pasangan berhomonim memiliki
makna yang berbeda.
Contoh; bisa.
Kata tersebut bermakna ‘dapat’ dan juga ‘racun’. Pada kalimat ‘dia pasti bisa menyelesaikan soal itu’, kata bisa memiliki makna ‘dapat’. Sedangkan pada
kalimat ‘ular itu memiliki bisa yang
kuat’. Kata bisa bermakna ‘racun’.
e. Hiponimi
Kridalaksana
dalam Wijana dan Rohmadi (2011:53) menyebutkan bila hiponimi adalah hubungan semantic
antara makna spesifik dan makna generic, atau antara anggota taksonomi dengan
nama taksonomi. Sebagai contoh kata rambutan, mangga, anggur, durian, alpukat
merupakan makna spesifik dari sebuah makna generic ‘buah’. Kata buah adalah
nama taksonomi, sedangkan yang bermakna spesifik adalah anggota taksonomi.
f. Metonimi
Metonimi
adalah makna suatu kata yang berubah karena kedekatan hubungan kata-kata yang
bersangkutan secara ekstralingual (Wijana & Rohmadi, 2011:54). Sebgai contoh
kata amplop dan dompet. Kedua kata tersebut sering kita gunakan untuk menggantikan
kata uang. Semisal pada kalimat:
-
Aku tidak membawa amplop di pernikahan temanku
-
Dia tidak jadi membeli
makan karena lupa membawa dompet.
Pada
kedua kata di dua kalimat di atas, amplop dan dompet merupakan tempat untuk
menaruh uang. Kedua kata tersebut memiliki kesamaan secara fungsi, yaitu
penempatan uang, sehingga kata tersebut juga sering kali menggantikan kata uang.