Menatap melalui jendela bis dengan kosong, aku melipat kenangan. Kenangan yang terlalu lebar jika di biarkan begitu saja. Mengisi setiap waktu dan memenuhi kepala. Ah andai saja kepalaku ini seperti sebuah computer yang dilengkapi dengan recycle bin. Dengan mudah kan kuhapus semua kenangan yang tak ku kehendaki dan ku kan mengisinya dengan kenangan yang indah saja. Yang indah dan yang tak perlu lagi kulupakan, yang tak perlu merepotkanku untuk berlari, karena, sungguh aku tak menginginkan yang seperti ini. Di jendela ini, malam ini, aku hanya sendiri walaupun hingar bingar penumpang lain begitu ramai di telinga. Perlahan, kusadari titik hujan membayang di jendela.
Tanpa sadar, tanganku merogoh tas dan mengambil handphone, jari-jariku mulai menari menyulam kata-kata dan mulai mengirim pesan padamu. Sekedar ingin bertanya, apakah kau masih terjaga, apa yang sedang kau lakukan saat ini disana. “aku sedang menikmati secangkir kopi.” Kau membalas. Kubayangkan seraut wajah yang menikmati kopi hitam kegemaran, aku tersenyum. Ku balas lagi, “kopi hitam tanpa gula dan sebatang rokok yah…, pasti menyenangkan.” Kau membalas lagi, “yah, secangkir kopi hitam tanpa gula dan sebatang rokok yang melekat di bibir. Menyegarkan pikiran, pastinya. Bagaimana denganmu?”. Kau menanyakanku. “aku sedang mengingatmu, seperti biasa” kujawab. Menyibukkan diriku denganmu adalah salah satu caraku mengukir kenangan indah, aku mulai menikmatinya, disamping memulai untuk melekatkan ingatanku padamu. Bukanlah sebuah pelarian kupikir, tapi mencari sebuah tambatan di mana aku harus menepi, nantinya. Bercerita dan berbagi mengenai mimpi-mimpi, saling memberi dan saling mengingatkan. Bukankah konsep kehidupan memang seperti itu? Bukan pula sesuatu yang terlalu muluk kupikir. “aku, di bawah purnama dan taburan bintang, langit yang jadi saksi, aku pun mengingatmu” kau membalas. Di luar jendela bis ini, hujan semakin keras menyapa bumi, aku masih sendiri.
Sejenak aku melamun. Kaca di bis ini menopang pipiku. Aku dikejutkan oleh dering handphone. “aku menunggumu di kota ini, Jember tercinta, untuk menuai cerita”. Lagi-lagi aku tersenyum. “tak sabar rasanya untuk merangkai kisah kita, dari sekian kisah yang pernah kita rajut”. Kukirim pesan itu padanya. Mimpiku seolah menari-nari di awan dan tak sabar untuk segera kusentuh.
Malam semakin membekap. “kopi ini jadi teman setiaku, menjadi lebih setia saat melukis bersamamu. Melukis dan merapal cerita tentang kisah romantika manusia. Cerita antara Adam dan Hawa, Rama dan Shinta, ataupun layaknya Sam pek dan Eng thai”. Balasan pesan singkat yang kuterima. Kali ini aku sedikit tertegun. Ada ketakutan dalam diriku. Aku masih belum tahu seberapa besar aku mengenali diriku sendiri. Aku takut aku tak mampu memenuhi harapan-harapanmu, meskipun aku tahu, aku akan menjadi lebih kuat saat kau ada disampingku. “yeah... kisah-kisah yang mengharukan. Dan kita akan menggoreskan kisah yang lebih istimewa”. Kubalas lagi. Keyakinan kusisipkan sedikit demi sedikit dalam diriku. “mengharukan... ya mengharukan. Bukan maksudku menawarkan kisah yang mengharukan. Semua akan bergantung pada kita sebagai penulis kisah itu. Kita adalah Walmiki-nya, kita adalah si Zhang-Du. Dan kisah ini akan jauh berbeda”. Kau membalas.
“bukankah mengharukan itu indah? Layaknya film-film korea yang selalu bisa menyentuh air mata kita, dan itu indah. Dan, kupikir setiap hal adalah indah, selama kita menyebutnya indah”. Kubalas. Aku memahami setiap jengkal inginmu, tapi keinginanku sendiri aku tak tahu. Kutengok lagi jalanan di balik jendela bis ini. Masih saja ramai meskipun hujan. Kualihkan pandanganku ke langit, berharap ada bintang walau hanya satu, dan urung harapan itu karena mendung menyelimuti langit. Tapi, aku melihatnya tersenyum.
“memang mengharukan itu juga indah. Cerita semacam itu akan menghipnotis para penikmatnya bahwa keindahan selalu berada di sekeliling mereka. Tetapi, kita akan mencipta cerita yang lebih indah. Sebuah kisah yang akan membuat dunia bahagia saat mengenangnya”. Kau membalas lagi. Aku membayangkan wajahmu yang sedang tersenyum. Berteman segelas kopi pahit dikala dingin dan asap rokok yang mengepul di sela-sela imajimu. Aku tersenyum. Begitu banyak senyum yang tergores di bibirku malam ini. Aku bahagia. Perjalanan ini kurasa sempurna. Begitu sempurna. Kita dapat menyulam cerita walau berpijak pada tanah yang berbeda. Seperti halnya kicauan burung yang bersahutan dan terdengar begitu merdu. Bernyanyi bersama alam.
Wanita yang duduk disebelahku mulai tak kuasa menahan kantuk. Beberapa saat kemudian, kepalanya jatuh di pundakku. Hemm, pergilah ia ke alam mimpi. Hujan mulai reda sedikit demi sedikit. Bis inipun mulai melaju dengan kencang. Tujuan selanjutnya adalah kota dimana aku akan meletakkan kenangan. Yogjakarta. Kota dimana aku akan menorehkan cerita untuk kesekian kalinya.
Akan ada sekian waktu lamanya hingga aku bertemu kau lagi. Jarak yang menciptakan waktu itu. Demikian sebaliknya, waktu mencipta jarak. Dan rindu sebagai buah dari perkawinannya. Biarlah, sementara ini kutahan dulu rinduku. Walaupun akan sangat sulit membendungnya dalam hari-hari didepan. Bagai membendung sungai dengan tumpukan kapas. Sia-sia.
Hari menjelang pagi. Bis yang kutumpangi sudah sampai di pertigaan Janti. Dimana biasanya aku turun. Suasana sudah mulai ramai. Kendaraan tumpah di jalan itu. Aku bergegas. Meninggalkan lambaian yang masih lekat di pelupuk mata. Menyisihkan senyum yang masih lekat dengan segelas kopi pahit. Entah aku mampu bertahan atau tidak, pastinya aku akan lama tinggal disini.
Jember, aku merindukanmu.
*****
Itulah cerita yang selalu kudengar setiap kali aku akan pergi ke luar kota. Kisah yang kau ceritakan dan sungguh lekat dengan kita. Sangat dekat. Karena memang itu cerita tentang kita. Kau menyampaikan derita itu dengan penuh perasaan hingga terkadang aku tak bisa membedakan antara senyum kebahagian kesedihan. Kau mengaduknya begitu rapi. Tapi sayang, cerita itu tak pernah kau tulis di selembar kertas ataupun di buku harian. Cerita yang kau sampaikan hanya datang dan pergi begitu saja. Seperti angin yang tak pernah mau singgah dalam waktu yang agak lama.
Aku rindu dengan semua kisah yang kau sampaikan itu. Kisah tentang kita. Makanya hari ini aku menuliskan kembali cerita itu. Aku mengingat-ingat lagi apa yang pernah kau ucapkan kemudian kutuliskan dan akan kuberikan kepada siapa saja yang pernah mengenalmu, istriku. Supaya mereka tahu betapa besar cinta kita, betapa hangatnya hati kita. Agar mereka mengerti wanita seperti apa dirimu. Supaya mereka tetap mengenangmu. Karena kau memang pantas untuk dikenang.
Untuk istriku, semoga apa yang kusambung melalui tulisan ini akan menjadi doa. Agar kau selalu bahagia disana. Agar tuhan selalu melindungimu. Akan kubawa rangkaian bunga dan kubacakan cerita ini di dekat nisanmu.
Angin semilir membawa daun berjatuhan di antara sela-sela dingin malam di pemakaman itu. Bulan tampak tersenyum melihat seorang pria yang duduk tersimpuh membawa karangan bunga dan beberapa lembar kertas di depan sebuah pusara.