Sedari kecil, liburan ke tempat kakek menjadi salah satu favoritku. Di sebuah desa di lereng argopuro. Desa Kemiri. Kakekku tinggal seorang diri semenjak nenek tiada, itu 10 tahun yang lalu. Sehari-harinya pekerjaan kakek adalah mencari rumput untuk makan ternaknya. Kakek memiliki 2 ekor sapi dewasa dan 1 ekor sapi yang masih berusia 6 bulan. Selain itu kakek juga punya sepuluh ekor kambing.
Setiap setahun sekali, pada hari raya idul adha, kakek menjual salah satu hewan ternaknya. Dari sanalah kakek mendapat penghasilan. Selain itu, kakek juga mencarikan rumput bagi peternak yang lain. 10.000 rupiah sebagai pengganti rumput sekarung. Dalam sehari kakek biasanya mendapat uang 20 sampai 30ribu rupiah. Tenaga yang dia kuras semenjak pagi hingga sore hari. Dia biasanya mencari rumput di lereng pegunungan ini. Tak jarang juga ia pergi jauh masuk ke pegunungan Argopuro. Jika berniat hingga malam, lentera yang ada dirumahnya tak akan ketinggalan dia bawa.
Ketika aku beranjak SMA, kakek pernah mengajakku menginap di tengah hutan. Waktu itu kami hanya membawa tikar dan sarung yang bisa digunakan untuk shalat, tak ketinggalan lentera itu juga dibawanya. Ketika aku duduk di bangku SMA, shalat tidak lagi menjadi hal yang penting bagiku, tetapi kakek selalu mengingatkanku dengan sabarnya. “Shalat itu bukan untuk orang lain, Deni. Shalat itu supaya kamu lebih mengenal dirimu sendiri dan Tuhan.” Begitulah yang selalu dia katakana. Semalam di hutan, bagiku yang hidupnya terbiasa di kota dengan perlengkapan yang sudah tersedia, bisa sangat menyiksa. Nyamuk yang tak kurang-kurang selalu datang dan menghisap darahku sekaligus hawa yang begitu dingin hingga membuat bibirku bergletak. Ketika aku kedinginan, kakek mendekatkan lentera itu padaku. “taruh tanganmu di dekat lentera ini.” Begitu perintah kakek.
Kakek hanya punya seorang keturunan, yaitu ayahku. Ayahku pun hanya punya seorang keturunan, sehingga aku adalah satu-satunya cucu keturunan kakekku. Perhatiannya pun tercurahkan padaku.
Semenjak aku lulus kuliah dan bekerja, aku jarang menemui kakek. Aku telah disibukkan dengan tugas-tugas kantor yang terkadang belum juga selesai ketika aku pulang. Menjadi karyawan adalah kehidupanku sekarang. Bekerja enam hari dalam seminggu, berangkat pukul 07.00 pulang pukul 17.00 terkadang aku harus lembur hingga pukul 20.00 jika akhir bulan. Waktuku telah tersita untuk bekerja dan mencari uang. Padahal hingga saat ini aku masih belum menikah. Terkadang teman kantorku berkata dengan usil “buat apa kau bekerja begitu rajin, toh istri saja kau belum punya” ucapnya sekali waktu. Menurutku, daripada aku harus berdiam di rumah saja tanpa melakukan apa-apa, lebih baik aku di kantor bekerja dengan upah tambahan. Setidaknya upah itu bisa untuk membayar cicilan mobil yang saat itu sudah menunggak dua bulan.
Sebegitu disibukkannya dengan pekerjaan hingga membuatku tak sempat membaca sepucuk surat dari ayahku. Sudah tiga hari surat itu tergeletak di meja di samping tempat tidurku. Di meja itu terdapat sebuah lampu tidur pemberian ayah. Beberapa lembar foto dengan bingkai yang juga ayah belikan. Fotoku dengan kakek juga terpajang di sana.
Kubaca surat dari ayah.
“Deni, jika kau sempat jenguklah kakekmu di rumah. Semenjak seminggu kemarin beliau sakit dan ayah membawanya pulang ke rumah agar lebih mudah berobat. Setelah ke dokter, sakit kakek semakin menjadi. Dia menjadi pelupa, bahkan untuk buang air besar pun dia sudah lupa caranya. Dari kemarin, dia selalu menanyakanmu. Hanya kamu yang dia tidak lupa, padahal nama ayah saja dia sering salah mengucap.
Kalaulah pekerjaanmu sedikit longgar, cobalah kau pulang barang sehari atau dua hari. Mintalah cuti pada kantor, toh selama ini kamu belum pernah cuti. Ayah berharap kamu bisa segera pulang.
Salam Hangat
Ayah.”
Keesokan harinya aku langsung minta cuti dari kantor. Sudah setahun aku tak pernah cuti, dan sekarang aku bisa mengambil jatah cutiku yang tahun kemarin. Demi mempercepat perjalanan, aku naik pesawat dari Jakarta menuju Surabaya. Dari Surabaya ke Jember aku menggunakan bis Patas. Sore hari ketika langit berwarna jingga aku sudah sampai di rumah ayah.
Aku terdiam saat ayah bilang kakek sudah tidak bersama kita lagi. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk menenangkan hatiku. Menyalahkan diriku sendiri yang tak pernah punya waktu untuk sekedar menjenguk kakek yang hanya tinggal seorang diri. Menyalahkan diriku karena terlalu egois terhadap duniaku. Menyalahkan diriku sendiri karena tak sempat menemani kakek pada saat-saat terakhirnya. Menyalahkan diriku sendiri yang masih belum sempat membalas kebaikan kakek.
Tak terasa air mataku mulai menetes di pipi. Aku tak ingin menangis, tetapi air mataku tak bisa kutahan. Dari belakang, ibu menepuk pundakku. “relakan saja, supaya dia bisa istirahat dengan tenang.”
Sepeninggal kakek, dia mewariskan rumahnya di desa beserta ternaknya padaku. Tak luput lentera yang selalu menemaninya. Kakek berpesan pada ayahku agar memberikan lentera itu padaku, supaya aku bisa menjaganya. Jika aku pulang ke kota, lentera itu tak mungkin aku butuhkan. Penerangan dari lentera itu sudah terlalu ketinggalan jaman bagi sebuah kota besar dan congkak semacam Jakarta. Bagi Jakarta, lentera semacam itu tak diperlukan lagi, karena listrik sudah menyediakan segalanya termasuk penerangan.
Satu pesan kakek yang selalu kuingat, adalah menjadi seperti lentera yang menerangi sekitarnya. Aku waktu itu masih bingung harus menjadi seperti apa. Setelah penguburan jasad kakek, aku kembali ke Jakarta membawa lentera warisan kakek. Sedangkan rumah beserta isinya telah kuserahkan pada yayasan anak yatim. Mereka menggunakannya untuk pengembangan pendidikan sesuai dengan ijinku.
Lentera itu kuletakkan di meja di sebelah tempat tidurku. Setiap malam menerangi foto masa kecilku bersama kakek. Setiap malam, menjelang aku tertidur, lentera itu selalu menerangi mimpiku.
Jember, 24 Agustus 2011
Ebhi Yunus Basri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar