Senin, 20 Februari 2012

Garis pada Senja

“Sayang, apakah kau ingat ketika pertama kali kita duduk di kafe itu?” Suaramu berat.

“ya, aku mengingatnya, sayang.” Dengan suara perlahan aku menjawab.

Memang, kenangan pertama kali itu yang membuatku cinta padamu dan membuatmu luruh padaku tak akan pernah kita hapus dari ingatan. Aku duduk menghadap jalan, dan kau ada di depanku membelakangi jalanan. Di teras kafe itu kita menikmati secangkir kopi pahit untukku, dan secangkir coklat hangat kesukaanmu. Khayalan kita sama-sama memuncak. Aku mulai bercerita tentang kenakalanku sewaktu remaja, kau mendengarkan dengan begitu seksama. Entah apa yang sedang kau pikirkan waktu itu, aku bertanya-tanya.

Sembari bercerita, kuteguk kopi di depanku dan kusulut sebatang rokok. Menghisapnya dalam-dalam, sedalam aku mengikhlaskan diriku untuk merasuk dalam pikiranmu dan sebaliknya. Setiap ceritaku, selalu kau akhiri dengan senyuman yang membuatku terlena. Terlena dalam impian yang kita telah berjanji padanya untuk merajut kisah bersama. Rajutan yang akan kekal saat diceritakan kembali oleh cucu-cucu kita dengan bangganya. Bagai pelangi yang akan selalu menuai keindahan dan mempesona setiap kali ia datang.

Di kafe itu, dengan tak sadar aku memegang tanganmu yang mulai basah karena gugup. Tanganku pun berkeringat. Bukankah setiap pasangan akan berkeringat ketika pertama kali berpegangan tangan? Dan kupikir itu wajar untuk kita. Sebetulnya, menghisap rokok hanya sebuah pengalihan terhadap kegugupanku. Aku bertambah gugup setiap kali memandang senyummu yang kurasa seperti memenjarakanku dalam imaji. Anginpun bersekutu dengan hati kita, sepoi-sepoi beradu pada setiap benda yang ada di depannya. Dan bintang, ya bintang-bintang itu selalu tersenyum memandang kita. Kau mengatakannya.

“Helena sayangku, istirahatlah dulu. Besok masih ada waktu.” Aku memintamu melepaskan beban untuk sementara waktu. Beban pikiran yang selalu saja kau bawa kemana pun kau pergi. Terkadang aku pun marah pada diriku yang tak mampu untuk meringankan beban yang kau jinjing di pundakmu. Apalah guna hadirku jika hanya menambah bebanmu saja? Bukankah kita mencari kebahagiaan bukannya penderitaan? Meskipun pertengkaran selalu menjadi warna-warni hidup kita, aku tetap merasa bahagia. Apalah artinya hidup jika hanya merasakan kebahagiaan, tanpa pernah merasakan penderitaan? Menurutku itulah kesempurnaan dalam menjalani kehidupan, dengan merasakan semua emosi yang telah diciptakan untuk manusia. Meskipun begitu, aku tetap gagal ketika aku tak pernah mampu meringankan beban yang kau bawa.

“aku belum mau istirahat. Aku masih ingin bersamamu.” Setengah berbisik kau ucap itu. “Apakah kau keberatan?” Kau menanyakan hal konyol itu. “Tentu saja tidak. Aku tidak keberatan, sayang.” Kemudian aku berbaring di sebelahmu. Menggenggam tanganmu. Ya, aku juga masih ingin bersamamau, Helena sayang. Sampai akhir dunia jika mungkin. Tapi untuk saat ini, istirahat adalah hal yang paling kau butuhkan. Aku ingin melihat senyumanmu saat mimpi membawamu mengitari semesta, senyummu saat esok kau hadapi fajar dengan gagahnya. Aku ingin itu.

“aku juga masih ingin bersamamu. Untuk saat ini, jenguklah dulu mimpimu, sayang. Aku akan setia disini, disampingmu.” Senyum itu merekah dengan indahnya ketika aku ucap kata-kata itu. Aku jadi teringat ketika kau utarakan cintamu setelah ku utarakan cintaku. Pipimu merona merah dan senyummu merekah. Kulit sawo matangmu yang sedikit terbakar matahari masih sudi memperlihatkan rona merah itu. Aku pun jadi tersipu dan berbunga. Aku juga tak dapat menjelaskan perasaanku waktu itu. Jika saja aku bisa terbang, mungkin sudah kukitari dunia dan menyelam ke dasar samudra untuk meluapkan perasaan bahagiaku. Tapi aku hanya bisa tersenyum hingga menegakkan bulu romaku. Yang jelas aku bahagia.

“Kamu menangis, sayang?” Helena bertanya. Secara tak sadar mataku mulai berair. Mengapa aku harus menangis? Aku tak mau Helena melihatku menangis, walaupun sebetulnya aku sering menangis dan meratapi hidupku. Jika aku menangis di hadapannya, itu hanya akan membuat dia bertambah sedih. Menambah beban yang selalu dia bawa. Saat inipun aku sebetulnya ingin menangis. Menangis karena aku tak mampu membahagiakan diriku sendiri dengan cara membahagiakanmu. Walaupun aku tak pernah tahu inginmu, tapi aku tetap ingin membahagiakanmu, sayang.

Aku sadar akan perbedaan antara kita. Jika kau beranjak untuk pergi, maka aku baru saja kembali. Jika engkau hendak membumi, maka aku ingin terbang bersama pelangi. Perbedaan itu jauh memang. Apakah perbedaan itu akan memberi jarak pada kita? Kurasa tidak, bukankah hidup itu memang untuk saling mengisi? Kau memberiku isi dan sebaliknya, jika memang kekosongan dan isi itu ada. Kita masih mencari dan selalu mencari, masih belum dikatakan selesai jika kita masih bisa untuk menalar. Dan pencarian itu memang tak akan pernah berhenti. Bukan untuk saling menyakiti dan memberi jarak, tetapi untuk saling memberi makna pada hidup kita. Kebahagiaan.

“Ah, tidak. Aku tidak menangis, Helena. Aku hanya sedikit mengantuk hingga membuat mataku mengeluarkan air.” Kau tersenyum mendengar itu.”Kalau begitu tidur saja.” Tidak, aku tidak mau tertidur dan melewatkan setiap senyummu yang terukir lewat mimpi. Aku tak ingin melepas mataku dari dirimu. “Iya, Helena. Aku tidur di sini. Di sampingmu.”

Kuusap rambutmu yang hitam nan berombak. Lembut. Perlahan-lahan kau mulai memejamkan mata. Aku hanya ingin berada disampingmu saat kau tertidur sayang. Tetap memandang kemilau senyum yang melukis pelangi hatiku. Aku ingin bisa menjagamu kala itu. Menjauhkan segala hal yang akan mengganggu tidurmu. Sesekali mengusir nyamuk yang hendak hinggap di kulit ari-mu. Atau hanya mengipasi tubuhmu ketika kau sedang gerah. Sesekali keningmu ku kecup, dan kau tersenyum. Manja sekali. Aku mencintaimu, Helena.

Oh ya, dulu kau pernah memintaku untuk membaca sepotong sajak milik Sapardi yang berjudul Sajak Kecil Tentang Cinta. Sebuah pilihan sajak yang pintar. Karena kau memang seorang yang pintar. Kubaca sajak itu perlahan di telingamu sebagai pengantarmu menuju alam mimpi. Sajak yang romantis. Kau suka sekali ketika kubacakan sebuah sajak tentang cinta dan kehidupan. Sering sekali kau kirimi aku sebuah sajak setelah pertengkaran kecil yang kita perbuat. Bagai sebuah mantra, sajak itu terkadang menjadi sebuah penengah antra kita dan mengikat kita lagi dalam satu lingkaran.

Dengan suara pelan kuucap “MencintaiMu, harus menjelma, aku” di telingamu. Spertinya kau menyukai kata-kata itu. Kukira kau telah tertidur, ternyata kau masih saja merespon apa yang kau dengar. Tanganmu kemudian merangkul tanganku dengan erat. Erat sekali. Aku tetap merebahkan diri disampingmu. Menjagamu yang sedang beristirahat dan terbang bersama peri-peri dalam mimpimu mengitari langit dan menikmati bintang. Dan kau akan menyirami bunga-bunga yang tertanam di setiap halaman rumah yang telah kau bangun di setiap bintang yang kau tuju.

“Sayang, aku ingin menikmati senja di pantai.” Tiba-tiba saja kau terjaga kembali. Jemarimu membelai lembut tanganku. “aku takut kita tidak memiliki waktu lain lagi.” Engkau menggerutu.

“Sabarlah sayang, besok masih ada waktu. Jangan kau buka matamu, istirahat saja.”

“Apa kita masih akan melihat senja?”

“Jika Tuhan mengijinkan, Helena.”

“Ah, entahlah. Tuhan belum pernah menemuiku.”

“Iya, tapi Dia tetap mencintaimu.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Dia memberimu cinta yang indah dan kau abdikan padaku, untuk selalu ada di sisimu.”

“Apakah Tuhan juga mencintaimu?”

“Ya, tentu saja. Dia pun memberiku cinta tulus yang ku suguhkan padamu, bukan?”

Kau pun kembali memejamkan mata. Aku kembali membelai rambutmu. Mengecup keningmu. Memandang senja di wajahmu. Wajah yang terkadang ceria, juga terkadang sering dengan masam menyambutku di pelataran rumah, tetapi pemilik wajah itu tetap orang yang mencintaiku walau sekarang wajah itu sudah tak lagi sama.

Kau tertidur. Senyum itu mengembang kembali.

Sesaat kemudian, aku menekan tombol darurat di sebelah tempatmu tertidur. Beberapa Orang perawat datang. Layar monitor di sebelah tempat tidurmu mulai membentuk garis lurus. Aku tahu jika waktu ini akan tiba. Aku tidak akan menyesali perpisahan ini, karena indahnya pertemuan kita sudah lebih dari cukup untuk membayar kesedihanku.

Aku memandang layar itu, disana terlihat wajahmu yang merindukan senja dan tak sabar menemui bintang. Sayang, aku kan tetap disini.

Jember, 20 Agustus 2011

2 komentar:

  1. mantap.. dan lagi lagi penulis menewaskan sang kekasih

    BalasHapus
  2. mungkin karena kematian adalah hal yang paling ditunggu. hwehwa

    BalasHapus