Rabu, 29 Desember 2010

Penanda Ujung Matahari

"Tetetetettteeeeett"

tahun baru... jalanan akan penuh sesak oleh kendaraan bermotor. hotel dan tempat rekreasi menjadi tujuan utama untuk menghabiskan malam. berkumpul bersama teman, saudara, sahabat, kawan, dan yang tak ketinggalan pastinya, pacar. Lengkap sudah kebahagian untuk menyambut tahun "yang" baru.

eit, tunggu dulu, ada jagung yang juga menunggu untuk ikut dinikmati pada malam tersebut. mungkin bagi beberapa kalangan juga masih menambahkan minuman beralkohol pada daftar belanjaannya. benar-benar pesta pora. euforia.

tahun baru, new year, dan beberapa istiah lainnya, menjadi sangat populer di masyarakat indonesia, khususnya para remaja. malam dimana kita meninggalkan kenanggan-kenangan pada satu tahun terakhir. berkontemplasi untuk menghadapi tahun selanjutnya. menjajaki hari yang baru dengan semangat dan jiwa baru. menjadi manusia yang lebih baik (itu yang kita harapkan).

tahun baru masehi dalam bahasa latinnya anno domini, merupakan penanda dari kelahiran Jesus kristus (nabi Isa AS.). perhitungan tahun ini diperkenalkan oleh seorang pendeta bernama Bede yang hidup pada tahun 673-735. perhitungan tahun ini merupakan adaptasi dari seorang teologis bernama Dionysius Exiguus. perhitungan yang dibuat berdasar pada gerak bumi megitari matahari. berdasar pemikiran dari Dionysius dan Bede kita dapat menikmati penghitungan hari yang lebih mudah.

ketika kita merayakan tahun baru ini, berarti kita juga merayakan hari besar dari kelahiran nabi Isa A.S. (Jesus). kita juga mengenang semangat dari dua pendeta tersebut.

nb: kalau ingin melihat lebih dalam, lepas dulu "kacamatamu".

Kamis, 23 Desember 2010

Merajut Lalu

Hanya saja,
hujan begitu murahnya banjiri muka,
"silahkan masuk" ucap si tua
hadapi badan kuyup di teras toko
dendang serenada bahagia
berpaling dahi
tunjukkan keriput tak luput luka,

Dua tua yang sama menunggu nyawa,
-"teh jahe, kiranya anda mau."
+"teh jahe, seperti buatan istriku dulu."
-"buatan istri-istri kita."
+" ya, begitu hangat membuai dalam nyata."
-"deras air tak terasa, sebab ada dia yang terjumpa"
+"masih tetap menyapa, dan semakin membara."
-"begitulah kiranya, dalam waktu yang lalu."

perapian jadikan hangat ruang tamu,
2 potong roti di meja dan beberapa semut yang membauinya,
selimut tebal, dibumbui tawa kecil nan jadikan akrab,
dua tua menghampiri kenangan

-"bila bulan mampu ku dekap, ku kan simpan dalam kenangan."
+"bila bulan mampu jawab, kenangan adalah abadi dalam ingatan."

Dari Rusukku

Dari Rusukku!
ya, dari rusukku kau-Hawa bernyawa
menjadi awal abad berada dan bercerita
Dari rusukku kau-Hawa tercipta!
Mengapa tunduk separuh dunia?
benamkan bangga pada tubuh rasa
tancapkan nisan di tengah logika
mengapa bisa?!
dari rusukku dan segumpal daging,
janji terukir pada laksa dinding
dari rusukku dan segumpal daging
raut wajah sinari malam nan tak bergeming...
dari rusukku
aku jatuh...
aku rapuh...
aku sirna...
aku bahagia

Sabtu, 04 Desember 2010

SANG PEMBALAK


ADEGAN 1

(tempat pos kampling)

(ada dua orang sedang ngobrol sambil bermain catur)

Sukmo : Jo, berapa banyak kayu yang sudah kamu bawa pagi ini?

Karjo : Ah…sedikit, Mo. Pelanggan ku sedikit sekali. Kamu sendiri gimana?

Sukmo : Kebetulan anakku kemarin minta uang untuk bayar uang gedung, tambah lagi buku, seragam baru, dan alat tulis lainnya. Jadi aku bawa kayunya lumayan banyak, Jo.

Karjo : Jangan banyak-banyak , Mo. Nanti ketahuan sama Pak Rokim, saya takut ada apa-apa.

Sukmo : Tenag aja, Jo. Semua kayu yang saya ambil, sebagian besar sudah saya jual dan yang lain itu saya simpan di belakang rumah.

Karjo : Lho...gimana sih kamu, Jo!? Nanti kalau di geledah sama para polisi hutan bisa ketahuan. Bahaya kita.

Sukmo : Tenang aja, Jo. Kayu itu aku timbun di bawah tanah, jadinya gak mungkin katahuan.

Karjo : Jadi, semua kayu kamu timbun di tanah, Mo?

Sukmo : Iya, dengan begitu semua kayu ku bakalan aman dari penggeledahab. Eh Jo... nanti kita ngambkil kayunya gimana ya?

Karjo : Gimana apanya? Ya seperti biasanya aja, Mo.

Sukmo : Ya.....jam berapa kita ke hutan, terus gimana caranya kita bisa mengelabuhi Pak Rokim.....

Karjo : Oh... itu to, Mo. Santai saja.... Pak Rokim sekarang sedang sakit. Beberap orang bilang sakitnya masih parah, jadi gak mungkin dia berpatroli. Tapi kita harus berhati-hati, Mo. Saya denagr kemarin, ada tetangga saya yang kena tangkap gara-gara kayunya di simpan di semak-semak itu kelamaan waktu ada operasi gabungan. Sekarang dia sedang ditahan.

Sukmo : Siapa, Jo? Apa si Midun itu?

Karjo : Iya, betul Mo...

Sukmo : Kamu sudah menjenguk dia, Jo?

Karjo : Belum, Mo... rencananya sore ini saya mau menjenguk dia. Kamu mau ikut?

Sukmo : Waduh, aku gak bisa Jo. Hari aku harus menggali tanah di belakang rumah. Kayu yang kemarin kita ambil, masih belum aku timbun.

Karjo : Haaaa......jadi semua kayu itu masih belum kamu simpan, Mo.

Sukmo : Belum, ya makanya aku mau timbun semuanya sore ini. Terus aku sisakan beberapa balok yang gak aku timbun, soalnya kemarin kata istriku, Pak Kamituwo nyari kayu jati.

Karjo : Ya sudah kalo gitu, yang penting kamu harus berhati-hati saja, Mo. Aku merasa takut.

Sukmo : Iya....iya...Jo, kamu jangan terlalu kawatir kayak gitu... ini semua kan juga demi keluarga. Jadi apapun resikonya harus dihadapi.

Karjo : Iya, Mo. Aku tau kalo kamu sudah punya natisipasi yang hebat. Tapi kita harus lebih berhati-hati.

Sukmo : Iyo Jo,... kamu tau kan, dulu sewaktu aku masih jadi buruh tani, hampi semua kembutuhan hidup tidak bisa aku penuhi. Seragam sekolah anakku, bekas dari temannya. Aku berhutang sama tetanggaku hanya untuk beli buku tulis yang digunakan untuk sehari-harinya di sekolah. Buat makan, istriku mencari singkong di belakang rumah. Sedangkan kamu tau, dinding rumahku terbuat dari ’gedhek’. Dan atap rumahku selau bocor waktu hujan. Yang pasti jauh dari kehidupanku yang sekarang ini. Coba kamu bandingkan, untuk makan keluarga kami sudah gak perlu repot-repot mencari singkong di belakang rumah. Hutangku yang dulu sudah terbayar lunas. Bahkan aku sekarang menghutangi mereka.

Karjo : Iya...ya, Mo. Dulu kau juga kayak gitu. Sekarang hidup ku jauh jadi lebih baik Mo....., Sekrang sudah sore. Aku mau pergi jenguk Midun..

Sukmo : Baiklah kalo begitu. Aku juga belum tany sma istriku, barangkali ada orang yang mau beli kayu.

ADEGAN 2

(tempat teras rumah, sore hari)

Sukmo : (masuk panggung) Bu ne, aku pulang.... buatkan kopi ya...

Suntari : Eh....iya kang. Sudah pulang? tunggu sebentar ya... airnya belum mendidih.

(Sukmo mengambil koran yag ada di meja dan mulai membacanya)

Suntari : Kang, ini kopinya.

Sukmo : Iya,... makasih ya bu...,

Bu, gimana, tadi ada yang mau beli kayu ?

Suntari : Oh, iya kang. Tadi siang Pak Kamituwo datang, dia bilang ada pesenan kayu dalam jumlah besar. Dia minta kayunya dianter malam ini, trus dia bilang harus hati-hati, soalnya sekarang sering diadakan operasi besar-besaran.

Sukmo : Trus kamu takut kalau ada operasi besar?

Suntari : Aku Cuma khawatir aja kalau sesuatu terjadi pada Akang. Lambat laun kayu yang ditimbun di belakang rumah akan diketahui juga. Kemudian akang ditangkap. Kasihan anak-anak, Kang. Nanti masih ada biaya yang ebsar untuk mengeluarkan kakang dari penjara.

Sukmo : Ah....aparat itu bisanya Cuma menakut-nakuti saja. Mereka tidak sungguh-sungguh kalau mengadakan operasi. Mereka Cuma menggertak orang kecil seperti kita. Buktinya, sampai sekarang tidak terjadi apa-apa.

Suntari : (mulai memanas) Kang, jangan terlalu mengentengkan begitu.

Sukmo : Sudah lah....., biar aku saja yang mengurus semua.

Suntari : Kang !(nada tinggi) Akang ingat dulu, waktu akang cerita hampir kena tangkap. Jantungku rasanya mau berhenti Kang. Aku khawatir.

Sukmo : Itu kan sudah dulu. Buktinya sekarang aku ada di sini. Aku bisa larri dari kepungan petugas saat itu. Artinya Cuma ada 2 kemungkinan. Yang pertama, memang para petugas itu Cuma main gertak saja atau kemungkinan yang kedua aku yang pandai mengelabuhi mereka.

Suntari : Kang, akang nggak bisa menganggap semua itu remeh. Bagaimanapun, akang pernah sekali hampir tertangkap oleh petugas.

Sukmo : Terus maumu apa?! Apa aku berhenti saja dari pekerjaanku yang sekarang ini, dan kita kembali hidup kekurangan seperti dulu?

Suntari : Bukan itu kang maksudku. Siapa sih yang nggak mau hidup berkecukupan? Tapi ada yang lebih penting kang, yaitu ketentraman.

Sukmo : Ketentraman macam apa lagi yang kamu inginkan? Aku selalu ada untuk kalian, kebutuhanmu, baju, perhiasan, tv, sudah aku berikan. Anak-anak pun sudah bisa bermain dengan mainan mereka sendiri. Terus Si Tanti juga sudah aku sekolahkan sampai SMA, bahkan rencana mau aku kuliahkan. Terus apalagi Bu ne? Apa semua itu kurang?

Suntari : Kang, ketentraman yang aku maksud bukan itu. Tapi ketentraman hati dan pikiran. Dengan pekerjaan mu yang sekarang ini aku selalu khawatir jika akang belum pulang. Belum lagi jika ada petugas yang melewati jalan desa. Aku ’ndredhek’ kang. Semua itu nggak bisa di bayar dengan uang.

Tiba-tiba di saat kedua suami istri itu bertengkar, salah anak mereka datang.

Tanti : Assalamu’alaikum....

Suntari dan Sukmo : (sedikit cemberut, menjawab bareng) Wa’alaikum sallam..

Tanti : (heran) Lho, semua kok cemberut??? Memang ada apa sih???

Kedua suami istri itu tidak ada yang menjawab dan diam.

Tanti : Lho, kok nggak ada yang jawab. Ada apa sih buk???? (mendekati ibunya)

Suntari : Tanya sendiri sama bapakmu! (memalingkan wajah dan diam)

Tanti : Pasti gara-gara pekerjaan bapak lagi ya??? (dengan nada menyalahkan menoleh ke bapak) Sudah lah pak, berhenti saja dari menebang. Itu resiko nya sangat tinggi pak. Hutan bisa gundul, terus lonsor dan bisa juga banjir bandang. Bapak mau, kalau kita semua mati gara-gara pekerjaan bapak itu??

Sukmo : (mulai emosi) Aaaahhhh.... diam kamu! Kamu tau apa dalam masalah pekerjaan? Kamu itu masih kecil. Masih bau kencur. Tugas mu sekarng itu hanya sekolah.

Tanti : Tanti tau, Pak.. Tanti memang masih kecil. Masih bau kencur. Tapi Tanti sudah tau mana yang benar dan mana yang salah.(Pouse) Pak, Bapak kan sudah tau penebangan yang bapak lakukan itu tanpa ada persetujuan dari pemerintah. Intinya bapak itu menebang secara liar. Bapak bisa ditangkap. Kami semua nggak mau kalau bapak di tangkap oleh polisi, kayak teman bapak itu.. Pak, sekali lagi. Tanti mohon, tinggalkan pekerjaan bapak. Demi kita semua..

Suntari : (berbicara dengan pandangan kosong) Capek buk’e, Tan. Ingatin bapak mu terus. Bapak kamu itu nggak bisa di bilangin.

Tanti : (menghadap ibu)Ya sudah, kalau ibu capek biarkan Tanti saja yang ngomong ke Bapak. (kembali menghadap bapaknya) Tapi asal bapak tau. Tanti gak akan capek untuk bilangin bapak. Bapak harus bangga punya keluarga yang perhatian. Tapi bapak sendiri malah gak mau diperhatikan. Kami semua semua melakukan ini, karena kami sayang kepada bapak.

Sukmo : Kamu lama-lama nyebelin ya.. bapak itu melakukan semua ini juga untuk kalian semua. Baju mu itu yang kamu pakai, sekolah mu, uang jajan mu, makanan yang sehari-hari kamu makan, itu semua kalau bukan dari uang kayu, dari mana lagi coba? Gak ada yang peduli sama kita. Jadi kamu itu diam saja. Jangan urusin pekerjaan orang tua. Kamu itu taunya hanya tinggal beresnya saja. Gak usah urusin dari mana itu berasal. Lagian uang yang di hasilkan dari penebangan itu sangat menggiurkan.

Tanti : dasar bapak mata duitan. Taunya hanya uang saja. Tidak mikirin masa depan.

Sukmo : apa kamu bilang? Bapak mata duitan? Anak gak tahu di untung!!!. (menampar Tanti)

Tanti tersungkur gara-gara mendapatkan tamparan dari bapakya.

Suntari : Sudah-sudah....(menangis histeris. Melerai pertengkaran. Memeluk Tanti) hiks hiks hiks.....sudah lah.... aku mohon sudah....

Sukmo : Kamu bilang bapak ini mata duitan?! Kamu memang anak durhaka... bapakmu ini bekerja seharian demi kalian semua... berangkat pagi petang,,, sebelum kamu bangun... bapak berangkat dengan resiko yang besar... buat apa itu semua jika bukan buat kalian. Dan ini yang aku dapatkan dari memperjuangkan kalian?!!!

Tanti : Asal bapak tahu saja pak. Kehidupan kita gak selalu bergantung sama materi.

Suntari : Kalian berdua sudah. Gak usah diteruskan lagi. Apa yang kalian harapkan dari semua ini?!

Sukmo : kalian bisanya hanya menyalahkan saja tanpa memberi solusi!

Tanti : pak, solusinya sudah jelas. Berhentilah dari menebang kayu. Itu bukan pekerjaan yang mulia. Walaupun kita ini orang yang selalu diinjak-injak oleh orang yang lebih tinggi, bukan berarti kita harus menyerahkan harga diri kita demi materi!

Sukmo : kamu ini memang banyak bicara. Seharusnya kusumpal saja mulutmu dari dulu.!

Suntari : Apa yang kalian pertngkarkan!! Kata-kata anakmu itu memang benar pak! Ada hal yang lebih penting daripada mengejar materi. Ketentraman batin hati, dan pikiran juga harus diperhitungkan. Apa gunanya jika kita kaya tapi pikiran kita tidak tentram!!! Percuma pak, percuma!

Tanti : Pak, aku sama ibu Cuma ingin bapak sadar. Jka bukan dengan omongan kami, harus dengan apa bapak bisa sadar?

(keadaan sunyi, semua saling berpikir tentang hidup yang telah mereka jalani selama ini. Tanti masuk kamar, selang beberapa saat dia keluar dengan menenteng tas ransel)

Tanti : pak, aku sudah muak dengan semua ini. Saat ini aku hanya ingin menenangkan diriku. Aku mau pergi dari rumah ini!

(Langsung pergi meninggalkan kedua orang tuanya)

Suntari : tanti... tan... tanti !!! jangan pergi. Bagaimana dengan ibu... (sukmo hanya bisa bengong dan tidak bisa berbuat apa2. suntari menangis) apa ini yang kamu inginkan pak? Kamu ingin tanti dan aku pergi meninggalkanmu biar kamu bebas melakukan semua sesukamu?! Apa ini yang kamu inginkan?!!

(sukmo terdiam.)

Sukmo : (mulai emosi) Lha terus aku harus gimana?? Tidak ada lapangan pekerjaan yang menanti bagi seorang lulusan SD seperti aku ini. Yang aku tahu Cuma gimana caranya menebang pohon itu saja. Aku tidak menyalahkan bune. Tapi apalagi yang bisa dilakukan orang kecil seperti kita ini. Kita Cuma bisa pasrah sama nasib, entah dia akan memberikan hari esok yang cerah, atau sebaliknya.

Suntari : kang, hari esok itu bergantung dengan apa yang kita lakukan saat ini. Jika saat ini kita menanam benih padi, niscaya esok kita akan memanen padi. Semua itu berhubungan kang...

(tiba-tiba ada suara kaki berlari di luar rumah mereka. Tak lama kemudian ada suara yang memanggil sukmo sambil setengah berbisik.)

Karjo :sukmo... sukmo... kamu ada di rumah?

Sukmo : siapa itu?

(suntari agak kebingungan, kemudian muncul karjo dari pintu.)

Suntari : oh... kang karjo rupanya? Mau saya buatin apa kang?

Karjo : maaf, jangan sekarang. Sukmo, waktu di penjara tadi aku mendengar kabar. Pak rokim ternyata Cuma berpura-pura sakit untuk menjebak para penebang kayu. Sekarang dia sedang mengadakan operasi besar2an, dan sedang dalam perjalanan ke desa ini.

Suntari : Apa, ada operasi?! Ternyata apa yang aku takutkan selama ini ternyata terjadi juga. Gimana ini kang?!

Sukmo : tenang bune, semua bisa diatasi. Karjo, rencamau saat ini apa?

Karjo : rencanaku saat ini meninggalkan desa secepatnya. Aku gak mau dipenjara seperti midun. Bagaimana nasib anak istriku jika aku dipenjara. Siapa yang akan menjaga mereka?

Sukmo : baiklah kalau begitu kita pergi. Kamu duluan saja. Tunggu aku di perbatasan hutan di sebelah timur. Jika dalam waktu setengah jam aku belum datang, kamu pergi dulu saja.

Suntari : kamu pergilah sekarang juga kang. Biar aku mengurus semuanya. Nanti aku akan mencari tanti di rumah teman-temannya.

Karjo : gimana mo? Kamu berangkat sekarang atau nanti?

Sukmo : (sedikit bingung.) kamu pergi saja dulu. Aku nanti menyusul.

Karjo : baiklah... aku pergi dulu ya. Akan kutunggu di perbatasan hutan.

(karjo kemudian langsung pergi meninggalkan sukmo dan suntari)

Suntari : Kang, cepatlah pergi kang. Jangan menunggu mereka datang dan menangkapmu.

Sukmo : aku merasa bersalah padamu dan tanti. Selama ini aku belum bisa menjadi suami dan bapak yang baik.

Suntari : sudahlah kang, itu biar nanti saja kau perbaiki. Saat ini yang terpenting adalah kau cepat pergi agar tidak tertangkap polisi hutan.

Sukmo : iya aku tahu itu. Tapi aku tidak tega meninggalkanmu sendiri dengan beban yang begitu menumpuk. Sebagai seorang suami aku tidak bisa melakukannya.

Suntari : Kang, jangan bodoh begitu, akan lebih menyusahkan lagi jika kau pergi lebih dari sebulan karena dipenjara. Cepatlah kang!

(Sukmo kemudian bergegas mengambil beberapa lembar baju yang ada di lemari pakaian dan kemudian berpamitan pada istrinya.)

Sukmo : bu, aku pergi dulu. Aku minta padamu agar memaafkanku atas semuanya. Aku tidak akan bisa menjadi seorang yang berguna tanpamu.

Suntari : iya kang. Pergilah. Hati-hati, jangan sampai tertangkap. Ingat anak istrimu masih setia menunggumu disini.

Sukmo : aku pergi dulu ya bune. Aku akan kembali ketika tepat bulan purnama. Jaga dirimu bune.

(suntari melepas kepergian suaminya dengan perasaan yang berkecamuk, antara marah, sedih, dan takut. Belum sampai di pintu, terdengar suara tembakan.)

Doorrr...!

Sukmo : arrrgghhhh......!

(tembakan itu tepat mengenai kaki sukmo. Sukmo mengerang kesakitan)

Suntari : kaaaaannggg.....(berlari mendekati sukmo dan membawanya kembali kedalam rumah. terdengar suara seseorang dari luar pintu. Kemudian suara itu masuk dan mendekati sukmo)

Rokim : sukmo, untuk saat ini kau sudah tidak bisa diampuni. Kau pernah melukai anak buahku sekali. Saat ini kau tidak akan bisa berbuat apa-apa.

Suntari : apa yang kau lakukan. Tidak seharusnya kau menyakiti suamiku...

Rokim : bu, dia termasuk dari target operasi kami. Dan kami diberi ijin untuk menembak jika dia mau melarikan diri. Dan yang kulihat dia memang mau melarikan diri.

Suntari :(sambil memindahkan badan sukmo dari pangkuannya mendekati rokim.) apa yang kau inginkan? Ambil semua harta kami, tapi jangan suamiku.

Rokim : bu, apa yang ibu harapkan dari seorang kriminal? Serahkan dia padaku.

Suntari : tolong, jangan tangkap suamiku, hanya dia tulang punggung keluarga ini, kasihanilah kami. Kami hanya orang kecil yang tertindas zaman, apa kau juga ingin menindas kami? (menangis)

Rokim : bu, bekerjasamalah. Atau ibu juga mau saya tangkap?!

Suntari : tangkap saja aku. tembak aku...

Rokim : tolong... saya harap anda tidak mempersulit pekerjaan ini.(maju mendekati sukmo, tapi dihalangi oleh suntari)

Suntari :(menghalangi pak rokim yang mendekat) jangan... tolong jangan lakukan ini pada kami. Biarkan dia pergi.

(suntari dan rokim saling mendorong, hingga akhirnya rokim melemparkan suntari. Melihat hal itu sukmo naik darah dan hendak menyerang rokim)

Sukmo : (mengambil belati yang ada di atas meja dan menyerang rokim) kurang ajar.. jangan kau berani-beraninya menyakiti istriku.

(Sukmo berdiri dan menyerang rokim)

Rokim : (rokim yang sedang memegang pistol tanggap dan langsung melepaskan tembakan.)Diam ditempat....dooor....!!!

Suntari : (berusaha mencegah Rokim) Jangan........!

Sukmo : (jatuh tersungkur di samping istrinya)

Aarrgggh......

(Suntari menghampiri Sukmo dan menangis histeris)

Rokim : (mengambil belati yang terjatuh dan menyelipkan di pinggangnya) seharusnya kau turuti saja kata-kataku. Pasti tidak akan seperti ini jadinya.

(Suntari menaruh kepala sukmo di pangkuannya. Rokim pergi meninggalkan mereka berdua.)

Suntari : Kang......Akang........, mengapa jadi seperti ini.......!? jangan tinggalkan aku kang. Aku masih belum bisa menangani semua ini sendiri. Aku masih butuh kamu , kang..

Sukmo : Argghh...bune, jangan menangis lagi. Tolong jaga dirimu dana anak-anak untukku. Aku tidak akan pergi jauh darimu. Suatu malam nanti aku akan menjengukmu dan anak-anak.

Bune.....aku pergi dulu. Jangan menangis lagi, teruslah berjuang demi anak-anak kita.

Suntari : Kang. Tidak kang.........jangan pergi dulu kang. Aku tidak bisa melakukan semuanya sendiri.

Sukmo : Bune....jangan cengeng begiitu. Kau adalah wanita yang hebat. Kau tidak butuh siapa-siapa untuk terus berdiri.....uhuk...uhuk.....bune... selamat....tinggal...

Suntari : Kang..... tidak....!!

(Fade out....)

Jumat, 05 November 2010

Istirahat 2

Istirahat Sekolah

Bermain bersama

Untuk Kekasih

Kekasih,
sayangnya
kau bukan yang tercantik,
kau bukan yang terindah
seindah syair yang dilantunkan
untuk kaummu,
kau juga bukan seorang bidadari
yang bermandikan tetes
embun suci
kekasih,
kau tak bersinar bak bulan purnama
yang gemerlap indah
kau bukan harum bunga
yang semerbak sepanjang hari
kekasih,
kau bukanlah seorang putri
kau bukanlah pejuang wanita dengan keris di tanganmu
kau bukanlah siti khadijah
yang selalu sabar
kau bukanlah maryam yang teguh
kala gemuruh…

Kau adalah kau
yang mengisi hatiku

Kertas Warna

kertas itu sudah di meja
tanganku memegang pena
pena yang penuh dengan tinta kehidupan
ingin kumulai untuk menulis sajak, tapi ku tak mampu
ingin kutulis cerita, tapi ku tak bisa
mataku mulai terlalu berat dan ingin terpejam beberapa saat
kemudian otakku kembali mengerang ingin terlepas
kucoret saja kertas putih itu
hanya guratan yang tak berarti
kusobek saja kertas itu!
sedang malam semakin larut, kelelawar terbang mencari makan
dingin angin malampun terus berhembus

kuambil kertas berwarna abu-abu
barangkali kali ini aku bisa menuliskan kata yang bertumpuk dikepalaku
kutatap tajam kertas itu, kemudian penaku menyentuhnya
tapi tetap saja!!
ku tak bisa menulis walau hanya sebuah kata saja.
matilah engkau!!!
terjunlah ke dalam sumur tanpa dasar!
manusia tak berprinsip!

apa yang harus kukerjakan?
aku ingin menulis tapi tanganku digenggam
berjuta ruas borgol baja hitam yang tak mau terlepas
sulit menafikan keadaan
penat
sarat

berbaris aritmatik diajarkan oleh bapak dan ibu guru
tak sehurufpun terpahat.

ku ambil kertas merah,
tapi hasilnya tetap sama…
mataku tak mampu melihat hanya warna itu saja
aku butuh kertas lebih banyak warna!

Sujud Senja

Matahari sedang bercumbu dengan bulan
merona jingga di ujung barat menyilaukan
hati berdebar, badan gemetar
lantunan keabadian dikumandangkan…
Sayup, lantang,
menapaki dedaunan
menjelajahi pegunungan
melawan badai
tak surut kembali
Jiwa kotor terluka ini
mengais dalam rindu
menangis hingga kelu
Setetes menyegarkan, menyucikan
mengangkat tangan serukan kebesaran,
senyum pada bumi bujurkan dahi
hati merindu mengais dalam kalbu

teNANG,
heNING ,
reNUNG
menjadi aGUNG
hingga pada akhir salam…

Anggur Rindu

Sayang,

kau lihat cawan itu?

serunai yang mengalun indah ada di dalamnya,

serenada bahagiayang terdengar dalam doa,

jiwa sadar sahaja yang mampu memainkannya,

Sayang,

kau lihat cawan itu?

butiran halus pasir yang putih jadi ornamennya,

adalah asal semua madu di dunia,

lebih memabukkan dari sekedar harta maupun tahta,

ataupun ramuan anggur sang surga,

kau tanyakan padaku, ” apa yang membuatnya berharga?”

“karena sedikit yang bisa memilikinya.” ku jawab,

“tak setetes pun pernah kau tuang. apa yang mengisinya?”

“hanya keyakinan dan cinta tulus dalam doa.” ku jawab,

dan bangunlah sayang,

dengar lantunan sayup pada setiap pergantian waktu,

ku hanya ingin menyapamu dalam khusuk yang menjelang,

bergumul kita pada ucap yang dimakan lalu,

maka,

buat apalah kita meragukan kepastian,

kemarilah, hampiri kekasihku dan resapi,

banyak kidung yang belum dilantunkan,

banyak lukisan belum dinikmati,

takbirlah kita bersatu,

tangis yang menetes sebab rasa rindu,,,

Menunggu

menunggu,

adalah layaknya keresahan seorang ayah

pada kelahiran anak pertamanya,

layaknya kebingungan seorang ibu

yang ditinggal pergi anak yang dicinta,

layaknya debaran hati seorang kekasih

berharap dengan ribuan kecemasan akan diterima cintanya,

menunggu,

adalah layaknya ketakutan dan kecemasan yang diaduk dengan kegundahan,

bercampur dalam waktu yang berputar pada porosnya

sehingga membuat diri tak sadar dan hilang

dalam diam,,,

lalu,

mengapa kau biarkan aku menunggu?

Senin, 02 Agustus 2010

Tunggu Aku

Apabila laut bergelombang,
tunggu aku di tepian...
bila angin menderu menerjang,
nantikan aku dengan sekeranjang ikan...
ku masih bergumul dengan kayu mengambang ,sayang... ku masih berseteru dengan daratan...
tunggulah aku di tepian.

Satu Senyum

wajah lugu sang bocah terpampang dengan jelas
gurat ototnya dan membimbing senyuman ikhlas
mengalir sejenak saja dalam satu dunia natural
menata kembali alur yang tertinggal...
di ujung tempat itu, tersenyum padamu
mengajakmu hentikan untuk saling beradu
sejenak tinggal rasakan euphoria berpacu
dalam setiap kepala yang satu...
heningkanlah dulu...
jangan biarkan jadi abu...
resapi sejenak dalam kalbu
karena mereka tahu senyum yang satu...

(ber-)akhir

ini
adalah
sebuah
proses
yang
belum
ber-
akhir
***
tanda mata masih menjulang periskop bintang
baut-bautnya masih baru saja dikencangkan...
rasinya masih belum terbentuk
cahaya belum terlihat jelas...
baru saja nampak pusara eyang
yang dengan gigihnya berjuang mati-matian
kelopak bunga masih segar dan wangi...
jalanan masih lengang
bergelombang...
- ini adalah sebuah proses
masih raut mukamu belum mensyaratkan penuaan
-ini masih belum berakhir
gemakan lagi nyaring kobaran di dadamu
jangan melemah di pelukan manja

ketika meregang nyawa,
ini belum berakhir...

terpecah

sebelumnya aku belum tersadar
sebelumnya aku masih mengkhayal
jala yang ditebar kan mendapat ikan
pancing yang dilempar kan mendapat sambutan
hanya saja...

kau masuki alam mimpiku dan menghacurkan semua khayalku.

Bukan tak terjamah

5 detik yang lalu,
kau hujamkan kata yang menusuk hatiku
bertubi tubi kau koyak
dengan sembilu
hempaskanku pada linangan air mata,,
air pelarian...
Semenit yang lalu,
kau tanyakan itu
pertanyaan yang tak mampu kujawab
yang membungkamku dalam berjuta kebekuan gunung es
dan membiarkannya begitu saja
tenggelam dan hilang
satu jam yang lalu,
kita menyatu dalam aliran
lekuk sungai dan air
akar dan tanah
api dan asap
mengucur keringat kehidupan

sekarang kau pergi dan memaki
aku mati
karena memang
'aku bukan yang tak terjamah'

1/4

tak terasa angin telah menjauh...
tembaga tlah tersepuh,,,
nelayan tlah menambatkan sauh...

di gubuk di lembah di kaki gunung...
bertalu suratan takdir
meretas segala kehampaan
menjaga hati untuk kembali
menjaga nurani bersimpuh di kaki

seperempat,
memanggilku
sepereampat
mengingatkanku
seperempat...

pergi dalam satu

damar penerang gulita kini kan kukembalikan
pada jalannya yang hitam dan penuh luka

berpadu mengadu meminta
walau bulan tak kan tergapai
gunung tak kan terengkuh
biar jiwa berikan jiwa

terimakasih atas nafas
berjuta terlepas
terimakasih atas pandangan
yang membuat menjadi kenangan
terimakasih atas hidup
yang kan kembali meredup
nantinya....

wanita dan rembulan

wanita bertanya pada ranumnya senja
" akankah kulihat bulan tersenyum?
Berbagi cahayanya dengan anggun"
angin mendesir mengejar rumput
duduk ia di singgasananya
lambaikan tarian duka
rambut terurai
tekan pundak
bola matanya melepas penat
sarat

"akankah kulihat senyuman sang purnama malam ini?
Ceritakan kisah baru sang malaikat..."

masih,,,
tangan membalut
sembilu menyeringai
angin tetap berlalu

wanita beranjak
senja mengadu pada malam
suasana yang kelam
pekat
lekat
laknat


angkatlah tangan di dada
rasakan sesak yang masih tersisa
antara dunia fana
dan alam yang belum berada...

"ku masih ingin melihat rembulan
yang pancarkan sinar di antara gelap pekat malam
yang memenjarakan siang!!!"

wanita bersimpuh...
rapuh...

berada (di) antara

berdiri...
langkah tertatih masih menyapu
perih dari luka perut bumi
menyembur mulut bernanah darah
antara mati dan 'hidup' lagi

sudah tak kurasakan denyut hati
yang bernyanyi
senandungkan harmoni kehidupan
hanya kecamuk otak ber'retorika'
dalam kepenatan yang menggaung
antara ruang yang hampa

rambutmu mulai kusut,
wajahmu berkeriput
kering sudah mulut
yang tak lagi berkoar
mengenai nurani....
biar hujan dan badai menerjang
kau masih sang halilintar
memecut keraguan
membahanakan ketakutan...
biar peluh menderas
tak lagi berimpas
pada sebuah suluk yang tertancap
tegak
mati
hidup
kubur
bumi
gersang
hujan
garis tak terlihat antara hitam dan putih
batas yang tak jelas antara
takut dan menjadi pengecut...
masih berhamburan
dan membuncah lagi dalam kepenatan...
aku masih (di) antara alam dan yang belum berada.

Masih.

Ibu,
ingatkan aku!
Saat Tiang tegak berdiri
tertiup angin tak bergeming
menantang gagah cakrawala...
ku kan hancurkan berjuta karang menghadang
ku kan tembus perut bumi dan mengoyaknya
ku kan lukis pelangi dengan lebih warna
dengan lebih cahaya

maaf,
sekarang tiang belum tertancap
kaki masih terluka
keindahan belum lagi nyata
aku masih seonggok tanah busuk
bertambah busuk dengan debu-debu dosa

Sajakku tertulis untukmu

Sajakku tertulis untukmu
kamus keindahanku ada padamu
kau mau aku berbicara apa?
Aku tak bisa...
Mulutku tak mampu menggapai kata
tanganku tak mampu melukiskan warna

sajakku tertulis padamu...
Gerak bibir indahmu hentikan ku bernyanyi
lambaian tanganmu menambatkan tubuh pada kaki
tajam pandangmu hentikanku dari dunia sepi

sajakku tertambat dihatimu...
Ijinkan kuselami dalamnya
biar lebih dalam dari samudra
ijinkan kubaca semua
sekedar bahasa dari bangsa
biar sajak ini tertulis hanya pada dirimu

setan adalah kita

mataku panas sepanas api neraka
tapi tak juga kau redakan dengan embun surga
delapan penjurumengerang kesakitan menahan derita
angin menjalari api meretas dusta
apalah arti tanya jika hanya berdiam saja
apalah makna sapa jika berakhir durjana
telinga telah bebal oleh kata
mulut jadi rajam sengkala
tikam saja hati terbelut sengsara
lepaskan dan lupakan kenyataan yang nista
mataku panas sepanas api neraka
tak kau redakan juga dengan embun surga
menggeliat tubuh-tubuh penuh luka
sembilu yang t'lah dilepaskan dengan angkara
tak ayal "setan adalah kita"
manusia dengan topeng beribu muka
mataku panas sepanas api neraka
coba kau redakan dengan air mata
melihat yang muda dan tua saling berebut nama
yang miskin ingin kaya, yang kaya mau jadi penguasa

mataku panas sepanas api neraka
manusia tak lagi manusia.

Jumat, 30 Juli 2010

Ufuk Senja

Kata-kata itu seperti menusuk telingaku dan membakar sulur nadiku. Lebih terbakar lagi bersama segelas arak yang kutenggak. Mana mungkin itu terjadi??? Aku tak percaya. Tapi semua orang telah menjadi saksi atas peristiwa itu. Semua orang mengelilingiku dan mengatakan hal yang sama. Hal yang tiba-tiba saja membuatku takut.
"Ayahku pulang!!!"
Pak Nur, tetangga sebelah rumahku yang mengatakannya. Dengan terburu-buru dia mencariku di warung cak Dan yang berjarak cukup jauh dari rumahku, tempat dimana biasanya aku menenggak air neraka. Sekitar 5 km jaraknya. Dia tidak datang sendiri, istrinyapun ikut mencariku. Bahkan pak Hadi, yang rumahnya berada di belakang rumah pak Nur pun sampai ikut ingin mengabarkan berita itu. Dengan sedikit gugup mereka mengatakan hal itu padaku.
“Dari kemarin lusa ibumu mencari, tapi kamu belum juga pulang. Handphone-mu juga sedang tak aktif. Untung saja Toni bilang kalau kamu biasanya nongkrong disini. Jadi kami langsung kemari.” Pak Nur berkata dengan sedikit tergagap. “ Ayahmu sekarang sudah pulang!” Dia sedikit kegirangan.
Sudah 22 tahun sejak aku dan ibuku hanya tinggal berdua saja. Ayahku pergi berlayar kata ibu, hingga saat ini baru kudengar lagi kabarnya. Gembira, sekaligus takut dan juga marah karena aku merasa ditelantarkan sejak usiaku baru menginjak setahun. Kenapa dia tiba-tiba saja pulang? Apa dia mau minta maaf kepadaku dan ibu? Jika saja dengan maaf kesalahan seseorang akan tertebus, mungkin semua orang akan menjadi penjahat. Mudah sekali dia datang dan ingin meminta maaf. Dia tidak tahu sama sekali penderitaan apa yang kami alami.
Sepeninggal ayahku, ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Dengan sedikit ketrampilan yang dia miliki, dia bekerja sendiri untuk menghidupi keluarga. Mulai dari menjahit sampai membuat kue-pun ia lakukan. Sehari biasanya ibu hanya melayani satu sampai dua pesanan kue. Malam harinya ibu menjahit baju yang sudah dititipkan selama sehari. Ibu tidak mengambil untung yang terlalu banyak, yang penting cukup untuk makan sehari-hari. Ketika aku masuk sekolah SMA, pekerjaan ibu semakin menumpuk. Biasanya dalam seminggu hanya 2-3 baju yang dijahitnya kali ini ia menjahit 5-8 baju seminggu. Dari pagi aku berangkat sekolah, hingga larut malam ia tak lepas dari pekerjaan. Rp200.000 per minggu. Ia membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk menyekolahkanku. Rp. 50.000,- per bulan untuk spp, belum lagi uang buku yang selalu diberikan oleh guruku setiap minggunya. Padahal buku itu bias digunakan sampai cawu (catur wulan/empat bulan) berikutnya. Mungkin para guru di sekolah itu mencari untung dari berjualan buku. Serakah. " maklumlah, itu kan memang sekolah elit. wajar saja kalau spp-nya mahal, bukunya juga banyak. yang penting kamu bisa belajar dengan maksimal." ibuku selalu bilang. Pengorbanan yang luar biasa dari seorang manusia biasa.
setiap pagi sebelum aku bangun, ibu sudah terbangun. dia selalu menunggu matahari dengan sholat dan mengaji. kemudian masak dan membangunkanku. Sore hari sebelum ufuk senja hilang, ibu juga sering terlihat sedang mengaji. Pernah sekali aku bertanya padanya " bu, kenapa ibu sering sekali mengaji?" dia hanya menjawab dengan senyuman saja. ketika aku bertanya lagi," apakah ibu mengaji untuk ayah?" raut wajahnya pun langsung berubah dan dia lebih banyak menghindar." ayahmu sedang berlayar." dia bilang sambil berbenah. Kami ber-dua sudah menganggap ayah tiada ditelan oleh gelombang tsunami yang terjadi waktu itu.
Aku tidak pernah ingat dengan sosok ayahku. Yang ada hanya dua sosok bersanding di pelaminan yang sudah terlihat buram pada foto hitam putih yang dipajang di ruang tamu kami. Bahkan wajahnyapun tak jelas. itukah ayahku? sayang sekali ibu tak memiliki foto lain yang menggambarkan wajah ayah. Kata orang-orang, ayahku memiliki badan yang tegap, kulitnya putih, dan dia berkumis. dia tak pernah membiarkan rambut panjangnya dipotong. Lebih mirip seorang yang tak mau diatur menurutku. Orang-orang selalu bilang jika ayahku adalah seorang yang pemberani dan jujur. Dia tak mau ditindas oleh orang lain. Karenanya ketika dia menjadi seorang kapten kapal, dia berkata kepada para ABK-nya untuk menegur ayahku jika saja dia melakukan kesalahan dan berpesan kepada mereka agar jangan mau untuk ditindas. Hanya budaklah yang diam saja ketika ditindas. Ayah juga adalah orang yang memilki disiplin yang tinggi. Jika dia berkata akan berangkat pukul 9, maka dia akan berangkat tepat pada pukul sembilan. Setidaknya itulah ayahku mnurut versi dari beberapa orang yang pernah mengenalnya.
Aku, mulai dari tiga hari kemarin tidak pulang menemui ibu. Aku takut ibu kecewa karena aku sudah dikeluarkan dari perusahaan tempatku bekerja. Sulit untuk memberitahukan hal ini kepada ibu. Semenjak setahun yang lalu aku melarang ibu untuk bekerja terlalu keras, karena aku sudah memiliki pekerjaan. Gajinya cukup untuk membayar cicilan utang ibuku kepada pihak bank.
Ketika aku masuk bangku kuliah, pesanan kue dan menjahit pada ibu mulai sepi. Sehingga untuk membayar spp, ibuku terpaksa hutang di salah satu bank dengan jaminan rumah kecil kami. Jika saja dia berkata padaku terlebih dahulu, tentu saja aku akan memutuskan untuk berhenti kuliah saja. Sebab, beasiswapun sulit untuk didapatkan disini. "Jika kamu tidak mengenal baik lek Tomin, jangan harap kamu akan mendapatkan beasiswa." itu sentilan seniorku yang sering kudengar saat ada pengumuman tentang beasiswa ditempel. Lek Tomin adalah kepala bagian kemahasiswaan yang diberi tanggung jawab untuk menyeleksi siapa saja yang berhak untuk mendapatkan beasiswa. Dan itu memang terjadi padaku. Entah mungkin aku tidak mengenal baik orang itu, atau mungkin ada anak lain yang membutuhkan beasiswa lebih daripada aku. Aku tidak pernah mendapatkan beasiswa.
Sekali lagi yang membuat aku semakin benci terhadap sistem di negeri ini. KOLUSI. Ketika uang beasiswa dibagikan, seorang anak yang lebih mampu dari mahasiswa yang lain, mendapatkan beasiswa yang dikhususkan bagi yang mahasiswa kurang mampu. Memang dia adalah anak yang dikenal oleh banyak orang di Fakultas ini. Tapi itu bukan sebuah alasan untuk mendapatkan apa yang bukan hak-nya. Ketika dia dan teman-temannya berkumpul di kantin, bergelas susu hangat dan beberapa piring makanan tersedia memadati meja. Menari dia atas penderitaan orang lain. Mungkin itu pepatah yang tepat untuknya.
Daripada harus mengikuti kebobrokan sistem disini, aku lebih memilih untuk bekerja dan tidak membiarkan biaya kuliahku ditanggung oleh ibuku sendiri. salah satu perusahaan pengiriman barang dan travel menjadi pilihanku saat itu. akhirnya setelah lulus aku diterima menjadi pegawai tetap di sana. tetapi kemarin, ketika aku masuk kantor pagi hari, atasanku datang dan memberikan sebuah amplop.
Aku dipecat!
“Mas budi, kemarin ada yang bilang kalau mas Budi ternyata suka mengkonsumsi alkohol, saya takut itu nanti akan menghambat pekerjaan mas disini, dan itu pasti akan berefek pada perusahaan dan pekerja yang lain. Karenanya saya sudah menggantikan mas Budi dengan orang lain. Saya harap mas bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di tempat lain.” Atasanku berkata padaku. Sebuah alasan yang tidak masuk akal disuguhkan pada surat itu. Setidaknya menurutku. Ingin kusumpal mulut orang itu dengan surat yang ia suguhkan. Tapi aku lebih memilih untuk diam dan menahan emosiku.
Bagaimana nanti jika ibu tahu aku tidak bekerja lagi! Apa aku harus memeras keringat orang yang sudah bekerja separuh hidupnya demi seorang anak yang belum berguna ini ? aku takut mengatakannya kepada ibu. Daripada membuat ibu bersedih mendengarkan aku berkeluh kesah, aku memilih untuk berbohong padanya dan tidak pulang rumah sementara sampai aku mendapatkan pekerjaan." aku sedang ada rapat bu, aku belum bisa pulang." ibu hanya bisa menarik nafas panjang dan memberi pesan, " jangan lupa sholat, dan jaga kesehatanmu le." Pesan yang sederhana tapi sering terlupakan.
Selama tiga hari ini, setiap paginya aku datang dari kantor ke kantor. Melamar sebuah tempat di tengah jarring-jaring kapitalisme. Yang besar selalu benar, yang tua pasti punya kuasa, dan yang ber-uang pasti menang. Malam harinya aku pergi ke warung cak Dan sekedar untuk menghilangkan suntukku selama sehari tadi.
*****
Sampai pintu pagar, jantungku berdegup lebih kencang. Rasanya seperti gemuruh saat badai. Tidak, seperti gunung yang meletus. Bukan juga, ini seperti aku disuruh memilih antara dua pilihan yang akan menentukan hidupku nanti. Bingung mau menentukan. Semuanya sama-sama salah, dua-duanya juga bisa menjadi benar. Langkahku masih terhenti di depan pintu pagar. Matahari sudah hamper sampai di peraduannya. Jingga sore itu mewarnai hatiku yang kacau.
“Kriiiiek!” Suara pintu pagar yang terbuat dari kayu dan sudah berumur lebih dari sepuluh tahun. Tanganku masih enggan untuk melepas daun pintu pagar itu. Ada yang ingin pergi dari tempat itu, tapi ada pula yang menarikku supaya aku terus melangkah dan menyambut tamu yang baru saja datang. Ah, tak ada salahnya kusambut ia. Toh aku juga ingin tahu, seperti apa muka ayahku. Apakah memang benar dia seorang yang gagah seperti yang dibicarakan oleh orang-orang? Apakah wajahnya mirip dengan wajahku? Apa ia masih memelihara kumisnya? Apa dia masih berambut panjang? Pertanyaan itu timbul melayang-layang di otakku.
“Assalamualaikum” tiba-tiba saja aku sudah berada di depan pintu rumah. Seorang gadis kecil membukakan pintu. Kira-kira dia berumur lima tahun. Ibuku menyusul di belakangnya. Tak luput juga “Ayahku”. “wa alaikum salam” jawab anak itu. “ Ayah, ibu, ada tamu”. Ibuku buru-buru menjawab ”itu masmu Ziz, namanya Budi. Panggil aja mas Budi”.
“Yah, ini anak kita. Sudah besar kan.” Seraya ibu menggaet tangan lelaki yang ada di belakangnya.
“Budi!” lelaki itu berkata. Terlihat jelas di matanya ada sekumpulan Kristal-kristal air mata. Entah itu air mata palsu atau bukan. Aku hanya terdiam. Tercengang.
Lelaki itu hampir sama sekali beda dengan yang digambarkan oleh orang-orang. Dia bukan seorang yang terlihat tegar dan tegas. Raut wajahnya sudah dipenuhi keriput. Matanya pun terlihat sayu. Dia bukan seorang yang gondrong. Kepalanya hampir botak dengan ditumbuhi beberapa rambut berwarna putih. Lengannya tak kekar seperti lengan pelaut. Kulitnyapun hitam. Dia jelas jauh beda dengan apa yang digambarkan orang tentang ayahku.
Azizah berlari ke arah ayahnya. “ yah, apa itu masku? Kenapa dia diam saja?” dia berkata sambil meminta digendong. “ Budi, itu ayahmu. Dia sudah pulang dari berlayar. Jangan diam saja di depan pintu le.”
“Budi, maaf aku baru bisa pulang. Aku akan mengganti hari yang dulu hilang sekarang. Aku tak akan pergi lagi.”
Haaah… akan mengganti? Munafik! Kenapa tidak dari dulu saja dia kembali, saat aku butuh sosok seorang ayah sebagai panutan. Ketika ibuku harus membanting tulang dan memeras keringatnya untuk menghidupi keluarga. Kenapa baru sekarang? Mana kedisiplinan yang dibicarakan orang tentangnya? lebih baik aku tahu kalau dia sudah mati saja. itu akan lebih mudah buatku untuk menerima. Tambah lagi, dia sudah punya seorang anak. Betapa memang seorang lelaki tidak kuat menahan syahwat! Dia tidak menghargai penderitaan dan kesetiaan ibu. “aaagghhhhh!!!!” aku berteriak dan berlari keluar. Aku tak bisa menerima semua itu seperti ibuku yang selalu sabar.
Gila!
Bagiku dunia ini sudah mulai gila. Bukan hanya aku dengan arak. Bukan hanya kedatangan ayahku dengan anak”barunya”. Juga ibu yang dengan sabarnya menerima kembali suami yang sudah lama meninggalkannya, membiarkannya hidup dalam kesusahan, dan sekarang, setelah 22 tahun dia datang dengan seorang gadis kecil di pangkuannya. Aku memilih untuk pergi. Entah sementara atau untuk selamanya. Yang pasti, saat ini aku masih belum bias menerima kenyataan hidupku.
*****
Genap sebulan aku tak pulang menjenguk ibu, ayah dan adik baruku. Mungkin Tuhan masih menyayangiku, aku sudah mendapatkan pekerjaan lain berbekal ijazah dari FKIP. Menjadi seorang guru ternyata tidak mudah. Aku harus tahu bagaimana cara berpikir para siswaku. Aku juga harus paham bahwa tidak semua siswaku memiliki tingkat kecerdasan yang sama. Sebagai seorang guru di sekolah swasta, aku dituntut untuk lebih disiplin terhadap waktu. Seorang guru lain yang lebih tua dariku berkata, “ Jika kita ingin merubah suatu bangsa, maka kita harus merubah pola pikir masyarakatnya. Jika kita ingin merubah pola pikir masyarakat, maka kita harus memulainya dari sekolah. Jangan jadikan sekolah hanya sebagai tempat mencari nilai dan prestasi. Tapi jadikan sekolah sebagai tempat untuk membuat orang selalu tergerak untuk belajar.” Ada benarnya juga menurutku. Untuk saat ini, aku hanya ingin agar anak didikku bisa memahami setiap pelajaran yang diberikan. Walaupun dengan usaha yang keras.
Saat jam pelajaran berakhir, aku tak langsung pulang. Aku memilih untuk berlama-lama di taman sekolah. Menikmati kesendirian. Menjadi orang yang terbuang. Sebatang rokok menyempurnakan kesendirianku.
“Mas Budi, nggak pulang mas?” Tanya pak Amin penata kebersihan kebun sekolah, sedikit mengagetkanku.
“Eh, belum pak. Masih ingin menikmati taman yang bapak tata kemarin. Bagus sekali.” Jawabku sekenanya.
“Mas, maaf ya mas. Bukan bermaksud mau ikut campur. Tapi mas Budi ini terlihat seperti orang yang punya muka dual ho.” Ujarnya dengan jujur.
“Eh…” aku sedikit kaget dengan apa yang dia ucapkan.” Maksud bapak?”
“Mas Budi waktu mengajar wajahnya cerah sekali. Waktu berkumpul dengan orang lain juga begitu. Tapi, ketika saya melihat mas Budi sendiri, Wajah mas Budi terlihat sayu. Sepertinya ada sebuah pikiran yang sangat berat gitu…” Pak Amin berkata dengan lugu. “Mas, maaf ni mas, kalau menurut saya, semua masalah itu pasti ada jalan keluarnya. Tuhan tidak menciptakan pikiran untuk diam saja ketika ada masalah. Kalau mas Budi menganggap itu masalah kecil, maka akan jadi kecil. Kalau dianggap sebagai masalah yang besar, maka mas Budi akan sulit menghadapinya.”
Sedikit sok tahu dari seorang lulusan sekolah dasar seperti dia. Siapapun juga sudah tahu jika segala sesuatu pasti ada jalannya. Aku hanya menjawab untuk menghargai dia.
“iya pak Amin.” Aku kembali terdiam. Menghisap rokokku dalam-dalam. Kenangan pertemuan dengan ayahku sebulan kemarin terbayang di otakku.
“Pak, misalkan pak Amin punya seorang ayah, tapi kemudian ditinggal ketika pak Amin masih umur setahun, kemudian baru sekarang pak Amin ketemu lagi dengan ayah pak Amin. Padahal dulu perjuangan pak Amin untuk hidup sangat berat. Tiba-tiba saja ayah pak Amin datang membawa adik baru dan mau minta maaf. Apa yang pak Amin lakukan?”
“mas, bagaimanapun juga dia kan ayah saya toh. Mau saya marah kek, mau saya pergi kek, yang pasti dia tetap ayah saya mas. Kewajiban seorang anak kan berbakti kepada orangtuanya. Kalau saya sih, mungkin akan memaafkan dia. Toh dia minta maaf, kan dosa kalau kita nggak memaafkan.”
Sejenak aku terdiam. Ada sesuatu yang terlupakan. Ada sesuatu yang terlalu menggebu-gebu dalam diriku dan ketika itu terlepas, aku memilih untuk lari dari hadapan ayahku. Aku lupa bahwa bagaimanapun juga aku adalah seorang anak. Apa salahnya memberikan kesempatan kedua bagi orang yang ingin berubah.
“Mas, saya pulang dulu ya. Nanti kalau mau pulang, kuncinya ada di kantor.”
“Pak, tunggu. Saya ikut ke terminal.”
Di atas bis, aku memikirkan bagaimana caraku menyambut ayah. Dengan pelukan, atau mencium tangannya, atau bersimpuh di kedua kakinya. Apakah aku akan menemuinya dengan tangisan ataukah kegembiraan? Bagaimana aku akan menghaturkan maaf pada ibu? Bagaimana aku akan memeluk si kecil adikku. Semuanya berkecamuk dan memenuhi pikiranku. Semoga saja ibu tak marah padaku karena aku lari begitu saja tak menghiraukan panggilannya. Semoga ayah juga tak marah padaku. Semoga saja adikku nanti memanggilku kakak. Ah tidak lebih baik “mas” saja. lebih enak di telingaku. Telinga orang yang hidup di budaya campuran. Di benakku penuh sekali pengharapan-pengharapan. Penuh dengan bayangan-bayangan.
Kulihat arloji di tanganku. Pukul 17.00. Bis yang kutumpangi sampai di terminal Tawang Alun. Akhirnya aku tiba di kota kelahiranku. Jember. Tak ada yang beda dengan penampilan kota ini. Tak ada yang terlalu istimewa. Tapi entah, aku begitu gembira sampai di sini. Ada sebuah euphoria dalam hatiku. Seperti perasaan kekasih yang baru bertemu setelah sekian waktu lamanya berpisah. Seperti kegembiraan anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan. Di tambah lagi bayangan-bayangan tentang bagaimana aku harus menyapa tiga orang yang ada di rumah nanti.
Sembari menunggu angkutan kota, aku menyulut sebatang rokok. Menghisapnya perlahan. Aku masih memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menemui keluarga “baruku”. Kulihat mentari berwarna jingga seperti wana mentari saat aku pergi dari rumah. Tiba-tiba saja muncul perasaan bersalah kepada orangtuaku. Tak terasa tangan mengusap air yang berlinang di pelupuk mata. Aku ingin segera bertemu dengan mereka.
Tubuhku tergeletak di aspal seberang jalan terminal. Aku terjatuh ketika ada seseorang yang menabrakku karena di kejar-kejar seperti seorang copet. Orang-orang di trotoar berteriak, tapi aku tak bias mendengar mereka. Aku masih melihat langit senja yang berwarna jingga. Aku bangun, dan tiba-tiba saja aku berada di trotoar. Semua orang mengerumuniku. Tapi aku tak bias melihat wajah mereka dengan jelas. Aku hanya mendengar mereka berbicara satu sama lain.
“Cepat bawa ke rumah sakit!”
“panggil ambulan!”
“Panggil pak polisi!”
Siapa yang membutuhkan rumah sakit, ambulan bahkan polisi? Aku butuh ayah, ibu dan adikku. Bayangan keluargaku di rumah semakin terlihat jelas. Mereka menyambutku dengan senyum hangat dan meja makan yang penuh dengan masakan. Ibu memakai baju yang baru dibuatnya. Dia mengulurkan tangan menyambutku dan tersenyum. Ayahku tak lagi beruban dan gundul. Rambutnya panjang sebahu hitam lebat. Dia datang menghampiriku dan mendekapku. Azizah tersenyum dan memanggilku, “ mas Budi!”. Menjadi sebuah keluarga yang kudambakan.
Sekarang hanya terlihat langit yang berwarna jingga. Kemudian gelap.
Aku menunggu mereka di ufuk senja.

Jember, 10-06-2010

tidak berlebih

antara siang dan malam,
antara terang dan gelap,
antara hitam dan putih,

ya Tuhan, cukupkan bagiku rezekiku,
cukupkan bagiku hidupku,
tidak lebih dan tidak kurang...

jangan biarkan aku meminta berlebih,
kuatkan aku untuk menahan,
beban dan goda,
hasrat dan nafsu,
ambisi yang tak pernah henti..

bulatkan ramadhan untukku,
bulatkan setahun dalam kasih dan cintamu...
bulatkan fitrah dalam kalbu...

tidak berlebih dalam suka,
tidak berlebih dalam duka
tidak berlebih...

Moksa Dalam Abu-Abu

jika saja hati ini telah membeku...
tak ada lagi tempat bagi mereka bertemu
dalam tiap sisi yang telah dikhianati benci

jika saja mata ini buta
kan kumaki langit dengan segala iba
kubuang saja dalam pelangi tak berwarna

jika saja aku bisu
santaplah aku dengan berbagai debu
hantam aku dengan tangan berbatu

jeruji membelit dalam tulang
belati mengoyak tanda perang
lebur aku atas segala atas
hingga tak ada batas
ruang yang hilang
ruang yang tertinggal
moksa dalam abu-abu...